Kamis, 11 Maret 2010

Narkoba & Remaja

PENDAHULUAN
Meski telah dikeluarkan UU No.5/1997 tentang Psikotropika dan UU. No. 22/1997 tentang Narkotika, yang didalamnya telah termuat secara jelas sanksi maksimal yakni, tuntutan hukuman mati bagi para pengedarnya, namun bisnis haram yang skalanya dari data tercatat mencapai Rp.325 milyar perhari dengan pecandu sekitar 6,5 juta rakyat Indonesia ini tak menunjukkan tanda-tanda surut; bahkan kian marak. Dari segi kesehatan, narkoba dipandang sebagai penyakit endemik dalam masyarakat, suatu penyakit kronis yang berulangkali kambuh. Angka kekambuhan terhadap narkoba untuk skala Indonesia, menurut Depkes Kanwil Jawa Barat masih tinggi yakni 43,9%. Lebih lanjut dinyatakan bahwa resiko kematian akibat mencandu narkoba diakibatkan karena kerusakan fungsi fisik (17,17%), kelainan paru-paru (93,67%), kelainan fungsi hati (55,10%) dan hepatitis C (56,56%) (Pikiran Rakyat, 27 Desember 1999).
Resiko kematian yang lain akibat mengkonsumsi narkoba ini adalah overdosis dan keracunan. Mengutip keterangan FKUI/RSCM dari Instalasi Gawat Darurat yang banyak menangani kasus demikian, diperoleh data bahwa overdosis dan keracunan jenis opiat (putauw, heroin,morfin) mulai meningkat sejak tahun 1998. Dilaporkan pula bahwa 62 dari 118 kasus keracunan yang ditangani selama tahun 1998 disebabkan oleh ekstasi dan opium. Tahun 1999 meningkat drastis bahwa hampir semua keracunan sebesar 203 kasus disebabkan karena narkoba dengan prosentase 82% akibat putauw dan sisanya shabu-shabu.(Kompas, 11 Maret 2001)
Peredaran dan penyalahgunaan barang haram tersebut tampaknya mulai memiliki kecenderungan yang meningkat, baik dari sisi pemakai maupun sisi jalur perdagangan. Jika kasus-kasus sebelumnya lebih banyak ditemukan di kawasan kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya maka kasus-kasus yang ditemukan aparat akhir-akhir ini tidaklah demikian. Untuk kawasan Jawa Barat dan DKI, daerah pinggiran atau kota transisi seperti Ciamis, Cianjur, Cipanas, Tanggerang, Serang, Indramayu terlihat mulai banyak ditemukan kasus serupa yang bersifat akumulatif. Demikian pula dengan karakteristik pemakai atau pecandu, tidaklah lagi berkisar pada kelompok elite seperti kaum selebritis dan sejumlah pengusaha muda, melainkan telah merasuk pula pada lingkup sekolah dan perguruan tinggi.
Sebagai indikator maraknya pemakaian narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa adalah data yang berhasil dihimpun dari Kejari Bandung. Berdasarkan data tersebut, jumlah kasus narkotik dan psikotropika yang masuk ke Kejari Bandung naik sekitar 200% atau 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu Kajari Bandung, H. Marwan Effendy, SH, MM memutuskan untuk tidak lagi memberi toleransi kepada para pelajar dan mahasiswa dalam menerapkan tuntutan hukum untuk kasus narkoba. Sementara itu untuk kasus para pengedar narkoba jenis pil setan selain mahasiswa, juga ditemukan para pegawai baik di lingkup instansi kepemerintahan maupun swasta.
Hasil temuan lain dari Tim Pokja Depdiknas menyatakan bahwa 70% dari 4 juta pecandu narkoba di Indonesia adalah siswa yang tercatat sebagai anak usia sekolah antara 15-20 tahun. Selain itu, berita dari Pokja Depdiknas Kanwil Jakarta, juga menyatakan bahwa 1015 siswa SMU di Jakarta terlibat narkoba dan 315 diantaranya terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena harus menjalani program rehabilitasi untuk menyelamatkan jiwanya. (Media Indonesia, 11 Februari dan 5 Agustus 2000).
Berdasar data dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) per Februari 1999, Direktorat Kemahasiswaan Ditjen Dikti Depdiknas menyatakan bahwa anak muda dikalangan pelajar dan mahasiswa yang menjadi pemadat di Jakarta adalah sekitar 10 kali lipat dari ambang batas WHO; dengan perincian 1055 siswa SLTP, 2096 siswa SLTA dan 1596 mahasiswa. Selain itu, Ketua Nasional Drug Abuse Prevention Center (NDPC) Jesse Monintjo juga menyatakan keprihatinannya bahwa penderita narkoba di Jakarta meningkat sampai 100% lebih dengan mensinyalir bahwa anak muda yang menjadi pemadat terbesar berada di kalangan usia 15-27 tahun (Media Indonesia, 4 September 1999 dan 11 Februari 2000).
Keprihatinan senada juga tampak dari sejumlah tokoh pendidikan dan pejabat instansi pemerintahan yang membidangi generasi muda ketika mengomentari temuan Tim Pokja Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba (P3N) yang dibentuk Direktorat Pembinaan Kesiswaan Ditjen Dikdasmen. Dari temuan tersebut terungkap bahwa komposisi keterlibatan siswa dalam bentuk persentase dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut 1995 (80%), 1996 (75,76%), 1997 (65,58%), 1998 (66,51%). Dibandingkan dengan data RSKO maka tercatat bahwa telah terjadi lonjakan pasien yang signifikan; yakni 1995 (2958 pasien), 1996 (2190 pasien), 1997 (3307 pasien) dan 1998 (5741 pasien). Sebagian terbesar pasien RSKO adalah penderita dari kalangan siswa (SD, SMP dan SMA) dengan jumlah 92% dari keseluruhan penderita yang dirawat di RSKO Jakarta. Dari data tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa keterlibatan siswa dalam kasus narkoba rata-rata menyebabkan siswa (SD, SMP dan SMA) itu sendiri menjadi seorang pemadat yang perlu menjalani perawatan medis dan rehabilitasi.
Dari data-data aktual pada umumnya mass media diperoleh gambaran bahwa rata-rata kalangan muda di usia antara 15 – 24 tahun ternyata lebih banyak terlibat dalam kasus narkoba. Jika PBB (UNO) mengkategorikan usia 15 – 24 tahun sebagai remaja, maka yang termasuk anak-anak adalah mereka yang berusia kurang dari 15 tahun. Tetapi menyimak UU No.1/2000 yang merupakan ratifikasi Konvensi ILO No.182 mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, memasukkan batasan anak di bawah usia 18 tahun sebagai kelompok sasaran. Lagi pula, dalam UU No.1/2000 tersebut dinyatakan bahwa keterlibatan anak dalam produksi, pengedaran dan pengiriman narkoba termasuk dalam jenis pekerjaan yang paling buruk, sehingga harus segera dicegah.
Dari penjabaran data-data tersebut di atas, dapat diyakini bahwa hampir seluruh kasus narkoba menunjukkan adanya korban ketergantungan akibat kecanduan yang rata-rata menimpa kalangan muda dari usia sekolah (SD-PT; 15-25 tahun). Diyakini pula, bahwa ketergantungan mereka terhadap narkoba merupakan sebuah proses disadari atau tidak disadari yang berjalan cukup lama dan bermula saat mereka memasuki masa transisi dalam tahap-tahap perkembangan menuju manusia dewasa. Di masa transisi ini, kebutuhan individu akan berubah-ubah sesuai dengan tahap-tahap perkembangan yang harus dicapai saat itu. Suatu keluarga, orangtua atau orang dewasa didalamnya; merupakan sebuah lingkungan utama dan pertama yang memberi kontribusi positif atau negatif dalam masa transisi tersebut. Masa transisi untuk menjadi dewasa adalah sebuah tantangan bagi anak atau remaja beserta orangtua secara bersama-sama. Dalam masa ini, mereka terdorong akan mencoba sesuatu yang baru guna memantapkan perubahan dalam pribadinya dan sekaligus menunjukkan transisi peran yang harus ditunjukkan dalam sebuah keluarga.
Lingkungan intern keluarga, sosialisasi dan pendidikan di keluarga, pergaulan sosial dengan kelompok sebaya dan orang dewasa di sekitarnya serta lingkungan belajar sangat berperan menciptakan kondisi yang kondusif dan akomodatif bagi anak. Banyaknya anak yang kemudian ‘salah jalan’, diyakini karena lingkungan intern keluarga bersangkutan mengalami degradasi fungsi. Keluarga sebagai pranata sosial yang paling utama dalam pembinaan dan pengembangan kapasitas pribadi anak, tidak lagi berfungsi dalam menjalankan peran dan fungsi normatif keluarga sebagaimana mestinya. Degradasi fungsi keluarga umumnya terjadi karena alasan ekonomi, yakni orangtua terlalu banyak bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarganya sehingga kekurangan waktu untuk memperhatikan aspek emosi dan afeksi. Padahal kedua aspek demikian tidak kalah pentingnya dibanding dengan aspek pemenuhan kebutuhan hidup secara fisiologis dan biologis dalam membantu anak atau remaja mencapai perkembangan yang sehat. Kenyataan seperti ini bisa terjadi untuk semua lapisan dan kelas masyarakat manapun.
Kasus penyalahgunaan narkoba yang dapat mengakibatkan terjadinya ketergantungan dan kecanduan dari seorang anak dan remaja, diyakini sedikit banyak dilatarbelakangi oleh terjadinya degradasi fungsi keluarga semacam itu. Adanya aktivitas dari jaringan narkoba untuk melakukan penetrasi terhadap anak remaja dalam usaha mengikat mereka dalam ketergantungan narkoba dan mencandu diyakini lebih bersifat oportunistik dan dipandang sebagai trigger, jika kebetulan ada aspek kelemahan fungsi keluarga yang membuka peluang terjadinya hal itu. Bila peluang itu membuka kesempatan yang kian membesar secara bersamaan dengan aktivitas pengedar narkoba, diyakini seorang anak remaja relatif mudah terperangkap dalam jaringan tersebut. Sebaliknya, jika peluang itu sangat kecil memberi kesempatan pada masuknya aktivitas pengedar, maka diyakini pula bahwa anak remaja relatif tidak akan mudah terlibat dalam kasus narkoba. Keterikatan keluarga (attachment), termasuk di dalamnya orangtua, orang dewasa dan kelompok sebaya yang sangat kuat secara kognitif, afektif dan konatif, diyakini mampu membendung anasir-anasir merugikan yang datang dari lingkungan sekitarnya.


ASUMSI PEMIKIRAN
1. Pencandu narkoba adalah anak yang berada pada tahap perkembangan transisi menuju masa dewasa.
2. Penyalahgunaan narkoba oleh anak remaja adalah masalah sosial dan ketergantungan narkoba dikarenakan kemampuan sosialisasi yang lemah, sehingga setiap kali anak menghadapi masalah dalam mencapai tugas perkembangan selanjutnya ia cenderung mengatasinya dengan obat-obatan.
3. Kecanduan narkoba identik dengan ketergantungan obat dan akar permasalahan tersebut ternyata tidak semata-mata problematis kejiwaan namun juga menunjukkan kontribusi peran lingkungan sosial; khususnya fungsi keluarga.
4. Pecandu narkoba dapat direduksi ketergantungannya melalui intervensi variabel-variabel sosial, terutama mengoptimalisasikan fungsi keluarga.
5. Kepribadian pecandu narkoba dapat direkayasa kembali dengan menelusuri pencapaian tahap-tahap perkembangan dalam membentuk identitas melalui penguatan variabel sosial dalam fungsi keluarga.
DEFINISI NARKOBA
Pengertian Narkoba
Narkoba atau narkotik dan obat-obat terlarang merupakan istilah populer dari NAPZA yakni Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif. Narkotika merupakan istilah populer dari opium atau putauw yang menunjukkan pada pengertian obat-obatan pembunuh atau pengurang rasa sakit atau nyeri yang terbuat dari bahan-bahan opium seperti heroin, morfin, paregoric dan codein. Bahan dasar pembuatan narkotika adalah sejumlah jenis tanaman ganja. Penggunaan obat golongan sangat keras terbatas ini efektif digunakan untuk tujuan medis atas otoritas dokter secara resmi (legal). Heroin dan morfin digunakan untuk membangkitkan efek reaksi emosional dalam mengurangi rasa tegang atau ketegangan fisiologis, rasa mudah takut dan mengurangi kegelisahan. Sejak narkotik diketahui sangat berhubungan erat dengan terjadinya tindakan beringas, kejam, sadis dan kekerasan maka penggunaannya kemudian diatur secara hukum melalui UU No. 22/1997 tentang Narkotika.
Sementara itu, alkohol merupakan substansi alami hasil dari fermentasi yang penggunaannya serupa dengan obat-obatan yang bersifat anti-depresan. Alkohol ini memberi efek memabukkan yakni suatu kondisi fisik dan mental yang tidak seimbang dalam koordinasi psikomotorik (inkompetensi). Efek fisiologis yang ditimbulkan alkohol adalah pandangan menjadi terganggu, mekanisme persepsi kedalaman menjadi berubah, reaksi pupil mata menjadi lebih lamban dalam merespon sinar, tekanan suara menjadi berat, kekacauan fungsi koordinasi, kemampuan memecahkan masalah menjadi berkurang, emosi dan suasana hati menjadi tak terduga, kemampuan mengingat berkurang, pengetahuan menjadi berkurang dan tidak terstruktur, kemampuan menyerap informasi menjadi terganggu sehingga dalam memutuskan sesuatu tampak kacau.
Psikotropika menunjukkan pengertian obat-obatan yang digunakan untuk merangsang susunan saraf pusat yang dapat meningkatkan tingkat kewaspadaan, aktivitas dan mempercepat proses-proses fisiologis. Obat jenis ini dalam terminologi medis lazim disebut sebagai stimulant, mencakup didalamnya amphetamines, kokain, kafein dan nikotin. Terkecuali kokain, obat jenis ini legal, mudah diperoleh dan relatif tidak mahal. Sebelum diketahui akibat salah penggunaan kokain, semua obat jenis ini tak perlu resep dokter. Namun setelah dinyatakan oleh otoritas hukum bahwa kokain sangat berhubungan erat dengan peningkatan terjadinya kriminal maka pemakaiannya dikontrol melalui mekanisme hukum; salah satunya adalah dengan UU. No.5/1997 tentang Psikotropika. Oleh karena itu istilah psikotropika sangat erat kaitannya untuk menunjukkan aturan hukum dalam penggunaan kokain yakni jenis amphetamin. Istilah populer amphetamin adalah shabu-shabu. Golongan amphetamin adalah benzedrine (bennies), dexederine (dexies), methedrine (meth atau crystal) dan dexamine (kombinasi amphetamin dengan obat bius tidur). Efek stimulan demikian adalah peningkatan tingkat kewaspadaan yang berlebihan, sangat aktif berbicara namun cenderung tidak terkontrol, merasa memperoleh tambahan daya kekuatan yang sangat besar serta merasa begitu nyaman dan aman dengan dirinya.
Zat adiktif merupakan terminologi untuk menunjukkan penggunaan zat-zat obat penenang yang tidak sesuai dengan tujuan medis sehingga seringkali memberikan efek psikologis yang membahayakan jiwa. Menurut WHO penyalahgunaan zat adiktif dinyatakan sebagai suatu kondisi yang memabukkan secara periodik dan kronis dan merusak kehidupan individu ataupun masyarakat jika penyalahgunaan tersebut merupakan pola konsumsi secara berulangkali dan bersifat menetap. Karakteristik penyalahgunaan zat adiktif ini:
a. Terbentuknya keinginan yang begitu kuat dan berlebihan dan bersifat kompulsif untuk melanjutkan pemakaian zat obat tersebut tanpa tujuan yang dibenarkan.
b. Ada kecenderungan untuk meningkatkan dosis pemakaiannya.
c. Seringkali mengakibatkan ketergantungan secara psikologis maupun fisiologis.
Jenis penyalahgunaan zat adiktif ini dapat dibedakan menjadi tiga kondisi akibat reaksi kimia didalamnya yang terlihat pada efek perasaan, pemikiran dan pola perilaku. Oleh karena itu zat adiktif ini seringkali diistilahkan dengan zat psikoaktif diantaranya adalah jenis stimulan, sedatif, narkose. Zat adiktif merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan obat yang tidak dapat diidentifikasi jenisnya namun memberikan efek psikologis yang merugikan serta membahayakan jiwa.

Indikator Pelaku dan Pecandu Narkoba
Penyalahgunaan obat-obat terlarang seringkali diistilahkan secara populer dengan drug abuse. Istilah ini secara lebih luas untuk menunjukkan pemakaian obat-obat penenang yang tidak sesuai dengan tujuan medis sehingga cenderung tidak mengikuti dosis pemakaian yang dibenarkan secara medis. Orang yang melakukan penggunaan zat-zat sedatif atau penenang (tranquilizer) secara ilegal tanpa tujuan medis yang dibenarkan dan menyebabkan gejala mabuk (intoksikasi) atau psikoaktif yang berakibat munculnya disorientasi dalam aspek psikologis seperti emosi, kognisi dan pola perilaku dinyatakan sebagai pelaku narkoba.
Ketergantungan narkotik dan obat-obatan seringkali diistilahkan dengan drug dependency yakni suatu kondisi ketergantungan fisiologis atau psikologis atau keduanya yang menghasilkan pola pemakaian yang bersifat kronis, periodik dan berkelanjutan. Dalam ketergantungan obat-obatan ini muncul istilah habituasi untuk menunjukkan adanya ketergantungan secara psikologis yang ditandai dengan keinginan psikologis yang berlebihan untuk selalu mengulang penggunaan obat-obatan tersebut dalam jeda waktu yang sangat sebentar serta dapat dipastikan berkelanjutan karena alasan-alasan emosional yang tidak jelas. Orang yang menunjukkan habituasi ini dinamakan pecandu narkoba. Sementara istilah adiksi digunakan untuk menunjukkan ketergantungan fisiologis atas pemakaian obat-obat tersebut. Namun istilah ini secara ilmiah kurang begitu dikenali karena memberikan efek yang relatif sama dengan habituasi. Oleh karena itu drug dependency atau ketergantungan obat-obatan cenderung digunakan untuk menunjukkan adanya habituasi maupun adiksi.
Efek pola perilaku dan psikologis yang diakibatkan oleh ketergantungan narkoba adalah sebagai berikut:
1. Efek Psikotropika
Mariyuana merupakan salah satu psikotropika yang menghasilkan efek psikoaktif yakni semacam kondisi relaksasi yang tidak terkendali. Jenis lain yang lebih berat efeknya adalah hashish. Efek yang ditimbulkan sebagai berikut:
a. Terbentuknya keyakinan bahwa semua obat dapat memecahkan masalah.
b. Terbentuknya perasaan yang makin leluasa untuk menggunakan berbagai macam jenis obat-obatan.
c. Terbentuknya perasaan untuk konformis dengan gaya perilaku tertentu yang biasanya muncul di tempat-hiburan akibat tekanan kelompok.
d. Cenderung memakai persepsi dan pemikiran berbeda dalam meyakini bahwa obat-obatan bisa diperoleh dimana saja dan dipergunakan kapan saja.
e. Adanya indikasi perilaku memberontak dan melawan figur orang tua.
2. Efek stimulan
Umumnya efek stimulan diawali dengan peningkatan proses fisiologis yakni lebih cepatnya tekanan denyut nadi, meningkatnya tekanan darah yang menyebabkan kondisi berdebar-debar, pembesaran pupil mata juga terjadinya mulut yang kering, banyak berkeringat, sakit kepala, diare dan muka pucat. Efek psikosis yang dimunculkan untuk jangka yang lama yakni pecandu menjadi bingung, takut dan gugup jika berhadapan dengan realitas. Efek psikologis yang ditimbulkan sebagai berikut:
a. Adanya perilaku berlebih-lebihan yang bersifat sangat aktif, mudah tersinggung dan cepat marah, argumentatif dan suka membantah serta cepat gugup.
b. Cepat dan mudah bergairah atau terangsang, begitu berbahagia dan merasa aman (euforia) dan terlalu banyak bicara namun cenderung tidak terkontrol.
c. Membesarnya pupil dengan sorot mata yang sayu.
d. Tahan untuk tidak tidur dan makan dalam periode waktu yang lama.
3. Efek Narkose
Efek dari jenis sedatif (zat penenang) yang paling berat dan seringkali ditemukan dalam kasus-kasus narkoba adalah efek narkose. Jenis narkose yang paling populer adalah opium atau zat opiat yang biasa disebut sebagai putauw. Jenis lainnya yang setara adalah morfin, heroin, LSD (lysergic acid diethylamide), PCP-Angel Dust (Phencyclidine). Efek narkose ini seringkali dinyatakan sebagai hallucinogen, karena mampu membentuk halusinasi atau delusi dalam fungsi psikologis pecandu. Efek psikologis lainnya adalah sebagai berikut:
a. Munculnya simptom memabukkan seperti alkohol, tanpa jejak bau nafas.
b. Jalan terhuyung-huyung atau sempoyongan.
c. Sering jatuh kesadaran, bahkan tertidur saat beraktivitas.
d. Tampak disoriented.
e. Cenderung berbicara seronok, kotor, mencerca dan mengumpat.
f. Membesarnya pupil dan sorot mata sayu.
g. Susah berkonsentrasi.
h. Cenderung cepat marah dan selalu menampilkan reaksi bertengkar.
i. Adanya distorsi perseptual yang memunculkan halusinasi visual dan auditoris.
KONSEP PEMIKIRAN KASUS NARKOBA
Konsep Psikososial

Psikososial memandang bahwa perbedaan yang dirasakan oleh remaja bukan karena perbedaan atau perubahan nilai namun lebih disebabkan oleh perubahan cara pandang akibat perkembangan intra psikis. Ketergantungan narkoba oleh anak remaja berlatarbelakang dari cara pandang yang keliru dalam menafsirkan internalisasi nilai-nilai dari keluarga. Apalagi jika diketahui bahwa kehidupan keluarga anak remaja tersebut ternyata tidak ditemukan adanya proses internalisasi orangtua kepada anak-anaknya, sehingga mereka pun tidak pernah mengerti nilai-nilai atau norma apa saja yang harus ia cerna, olah dan ia tata kembali ke dalam dirinya. Anak remaja demikian hanya sanggup mengenali suatu model perilaku berdasarkan sesuatu yang teramati (observable) saja, namun tidak mampu mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah model yang ia tetapkan.
Ahli lain Sears, memiliki konsep identitas sebagai keutuhan yang menyeluruh dari semua sub domain yang spesifik dan merupakan cerminan berfungsinya ego. Yang dimaksud dengan sub domain disini adalah penekanan pada aspek kognisi yang lambat laun akan makin berkembang menuju sosial kognitif dan pembentukan identitas. Remaja dianggap telah telah mencapai tingkat kedewasaan jika sikap sosial yang ditunjukkan bersifat prososial. Awal mulanya sosial kognitif ini berangkat dari minat pribadi sehingga bagi beberapa remaja bisa berbeda. Dalam kehidupan sosial, remaja mulai dihadapkan dengan tuntutan dan harapan-harapan masyarakat seperti halnya kepatuhan terhadap peraturan maupun hukum tertulis, etika dalam bergaul dan cara bertingkah laku yang dapat diterima oleh masyarakat sehingga remaja perlu menetapkan sikap sosial yang secara normatif dapat diterima lingkungan. Dalam sikap sosial ini remaja telah memiliki ketetapan hati secara moral, sehingga ia dapat diterima dimanapun ia berada namun tidak mengurangi kemandirian dan keunikan pribadinya yang bisa dibedakan dari remaja lain.
Dari konsep Sears dapat diidentifikasi bahwa terjadinya ketergantungan narkoba merupakan sebuah kegagalan atas usaha pendekatan yang bersifat menyeluruh untuk menguasai dan menonjolkan ‘trait kepribadian’. Ego tidak lagi dipandang sebagai suatu alat untuk menyeleksi dan menyaring hal-hal dalam realitas kehidupan sebagai cara untuk mengurangi derajat kecemasan. Agaknya tingkahlaku yang berhubungan erat dengan narkoba dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk mempelajari dan menonjolkan ‘trait kepribadian’ mulai dari masa terjadinya kegagalan individuasi yang terus berkembang mencapai tahap selanjutnya yang seharusnya lebih matang secara fungsional di masa remaja akhir dan dewasa. Karena fungsi ego dalam bentuk-bentuk umum sebagai pengendali impuls, gaya kepribadian, penetapan fungsi kesadaran, corak kognitif tiap-tiap tahapan, maka pecandu narkoba dan kasus ketergantungan narkoba dapat dipandang sebagai malfunction dalam struktur ego identity. Secara normatif, remaja akan mengorganisasikan impuls-impuls yang dirasakannya dimana minat pribadi dianggap sebagai penggerak utama sehingga ia harus sesegera mungkin menemukan konformitas dengan kelompok sosialnya. Jika kondisi sosial telah disetting sebagai suatu ajang kegiatan narkoba oleh para pengedar, maka ia akan sangat relatif mudah untuk terlibat didalamnya.
Dari rujukan psikososial, dapat ditelusuri kondisi alamiah untuk menganalisis peran identitas seorang anak remaja yang kecanduan narkoba terhadap apa yang ia ingin perankan dalam suatu kelompok dimana dalam kondisi demikian, ia bisa dikenali atau mengenali, membantu atau memperoleh bantuan dari lingkungan sekitarnya sehingga ego remaja tersebut makin lama kian terlihat jelas. Dalam penerapan teori Erikson, perlu membedakan proses pencapaian identitas dengan istilah introjection untuk masa bayi, identifikasi untuk masa anak-anak dan formasi identitas untuk masa remaja. Penekanan pada masa remaja bagi Erikson dijelaskan bahwa hal itu merupakan suatu kesempatan oleh remaja untuk mencoba membentuk identitasnya dari identifikasi yang ia telah capai sebelumnya secara kualitatif. Hasil akhir identitas itu merupakan perpaduan dari identifikasi pengalaman individu masa lalu mencakup didalamnya figur-figur signifikan, hal-hal yang dianggap paling berkesan dalam suatu rangkaian yang berkelanjutan dan umumnya bersifat unik.

Kecanduan Narkoba sebagai Kegagalan dalam Individuasi Kedua
Bagi pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obat terlarang, kondisi ‘kesadaran’ yang lebih matang merupakan hal utama yang dipandang harus terjadi dimasa remaja akhir dan dewasa, sebaliknya remaja demikian ternyata tidak mendapatkan ‘tingkat kesadaran’ diri sendiri sehingga tidak adekuat dalam menyadari dan menerima dirinya sehingga perlu merasa exist dalam situasi apapun. Dari paradigma demikian, pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obatan tidak bisa memperbedakan dirinya dengan orang lain, sehingga merasa untuk selalu menyalurkan drives ataupun memenuhi needs-nya untuk tetap berada dalam konformitas kelompok sosialnya, kendati ia berada dalam kelompok sosial yang asosial. Sikap dan tingkahlakunya lebih menghargai individualitas yang sebenarnya bersifat unconsciousness guna memantapkan mutualisma yang lebih kokoh dalam sebuah keterikatan. Disinilah pangkal tejadinya seorang pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obat terlarang relatif sukar dipisahkan dari “kelompok sosialnya” sehingga ia menjadi pelanggan setia penggunaan narkoba.
Individu yang begitu impulsif bukanlah sesuatu hal yang perlu dipersoalkan, akan tetapi memang seharusnya anak-anak tampak demikian karena dirinya sedang dipenuhi oleh impuls dan hasrat yang ternyata memiliki keterikatan kuat secara unconsciousness dengan kelompok jaringan pengedar narkoba. Dalam kondisi demikian, proses transformasi dalam tahap perkembangan yang seharusnya belajar membuat keseimbangan antara subjek dirinya dengan objek di sekitarnya cenderung tidak tercapai. Secara normatif, suatu diri/pribadi – identitas anak muda mencerminkan kebutuhan dan minatnya sendiri, namun tidak menunjukkan jarak perbedaan dengan apa yang ia terima dari lingkungan sekitarnya. Keseimbangan antara kebutuhan dan minat dalam diri pribadi merupakan titik awal seorang anak muda belajar mencoba membuat keseimbangan, kemudian bergeser ke minat dan kebutuhan subjek – self dengan objek di sekitarnya. Lambat laun anak muda yang berkembang menjadi remaja harus dapat membuat keseimbangan antara minat dan kebutuhannya, tidak lagi kepada objek melainkan dengan orang-orang lain sehingga ia sanggup membentuk hubungan interpersonal dan keterikatan dalam hubungan dengan orang lain dalam sifat mutulalistik yang produktif.. Lebih luas lagi, keseimbangan itu juga menuju antara peran-peran kelembagaan yang bersifat legal, bukan lagi hanya lingkup kelompok sosialnya. Persoalannya pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obat terlarang lebih terpaku dengan unconsciousness untuk tetap merasa terikat dengan suatu objek (narkoba) guna membentuk keseimbangan antara minat dan kebutuhannya di tengah-tengah kelompok sosialnya. Jaringan peredaran narkoba dan obat-obat terlarang merupakan sebuah kelompok sosial yang sangat efektif untuk menstimulasi dorongan dan membangkitkan ketetapan hati seorang pecandu, karena ia dapat memperoleh segalanya dengan cepat dan memuaskan.
Keberhasilan dan kegagalan untuk mengembangkan dirinya – self, tentunya akan berpengaruh terhadap kepuasan hidup yang dirasakan seorang remaja selama rentang kehidupannya. Dan disinilah letak problematik yang kemudian sering muncul, bila ternyata remaja tidak memperoleh kepuasan terhadap dirinya; sementara ia sendiri, orang dewasa atau orangtua tidak pernah menyadari adanya akar permasalahan yang sebenarnya. Kebanyakan kalau pun mengerti, mereka lebih banyak mencoba melangkah pada fenomena permasalahan yang menjadi kasus, bukan pada pokok kerangka mendasar perkembangan identitas remaja. Jika terdapat seorang anak remaja bergantung pada narkoba maka seringkali upaya penanganannya adalah menjadikan ia tidak lagi bergantung, bukannya merekayasa kembali struktur kepribadian yang rawan terhadap situasi-situasi yang dapat membangkitkan ketidakpuasan dan kecemasan dalam diri.

Konsep Re-Individuasi Pecandu Narkoba
Jika pecandu telah menunjukkan ketidakmampuan untuk mencoba mengendalikan/mengkontrol impuls dalam dirinya, maka ia perlu dilatih agar mampu membuat jarak antara impulsnya dengan kontrol diri. Pembelajaran mengantisipasi hal itu dapat dibuat dalam jangka pendek dengan menerapkan reward atau punishment; sampai upaya untuk melakukan kontrol semakin tampak nyata terlihat. Cara demikian dimaksudkan untuk mencoba mengembangkan kemandirian dan ketergantungan dari faktor-faktor eksternal yang seharusnya biasa terjadi secara alamiah pada masa transisi tahap perkembangan anak usia sekolah. Meski minat pribadi masih mungkin tampak mendominasi dirinya, agaknya hal itu tak perlu dipersoalkan guna mendeteksi situasi penggerak tindakannya dalam menyalurkan keinginan-keinginannya. Dengan cara ini lambat laun ia diharapkan mampu dalam membangun keterikatan iterpersonal, meski tidak begitu kuat bergantung, namun ada karakteristik hati-hati/waspada, usaha manipulasi dan kontrol; yang kesemuanya merupakan hal utama dalam kesadaran.
Jika pecandu mulai mambangkitkan kepuasan diri melalui sebuah kelompok dimana ia akan mendapat sesuatu yang menyenangkan; dikala mana ia menganggap dirinya tidak banyak berbeda dengan kelompoknya; diharapkan akan terjadi individuasi dalam basic trust seperti diungkapkan oleh Erikson. Trust disini sangat penting bagi dirinya – self; karena tanpa trust, pecandu justru dapat menganggap bahwa kelompok adalah suatu kekuatan musuh; dan dasar-dasar untuk memperoleh hal itu adalah dengan adanya kesempatan, tindakan eksploitatif, perlindungan diri remaja dan ego orang dewasa. Untuk mencapai konformis, aturan dalam kelompok akan dipatuhi sepenuhnya oleh anak, karena ia pun takut adanya penolakan dari kelompok atau hukuman sehingga keinginan untuk bisa diterima kelompok atau penerimaan sosial menjadikan dirinya mau mengendalikan impuls-impulnyanya. Inner life untuk menjadi konformis, lazimnya membuat anak menjadi santun, obedience, kooperatif dalam klik/geng yang nyata, mencapai penerimaan sosial, reputasi dan perolehan tingkat status diri; yang kesemuanya juga merupakan bagian utama dalam kesadaran.
Tingkat transisi ini paling mudah untuk diketahui karena merupakan modal utama/dasar dalam tahap perkembangan ego orang dewasa. Dalam tahap ini, pecandu bisa mencapai kesadaran diri sepenuhnya, bahkan bisa diketahui adanya peningkatan yang terus menerus terhadap kesadaran diri dan mulai membuka diri serta memahami adanya berbagai kemungkinan dalam suatu situasi. Meski agak samar-samar dalam mengungkap perasaan-perasaannya namun ia selalu dalam keadaan sadar diri sehingga melalui fungsi ego pada tingkat ini ia sanggup mengungkapkan gambaran-gambaran inner lifenya. Ia bisa menemukan dan menyadari bahwa dirinya sebagai pribadi seutuhnya (as self is self), bahkan bisa memisahkan diri dari identifikasi total norma “kelompok narkoba”.
Pada tahap ini menggambarkan kualitas kemampuan pecandu dari aspek jangka panjang, diharapkan pecandu telah mampu mengevaluasi secara kritis tujuan-tujuannya, bersedia dan mampu untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri, menyadari tanggungjawab pribadi, mampu untuk menggambarkan perbedaan individu dari aspek traits dirinya sendiri. Jika nilai-nilai sosial yang lazim dan normatif telah terinternalisasi, diharapkan pecandu bisa membedakan benar atau salah bergantung pada evaluasi pandangan diri pribadinya. Perlindungan diri yang diyakini sebagai pokok terbentuknya ketergantungan pecandu, diperoleh melalui kesediaan untuk patuh terhadap norma sosial yang lebih luas atau guna menghindari legalitas hukum sosial atau masyarakat yang berlaku. Perilaku demikian akan tampak dengan usaha pecandu untuk tetap mencoba konformis agar memperoleh penerimaan sosial dari kelompok, menyadari perlunya untuk mengevaluasi secara individu aturan dan standart aturan yang diberlakukan serta mulai memikirkan tujuan-tujuan jangka panjang serta pemikiran yang ideal sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan moral.
Adanya peningkatan rasa dan penghargaan terhadap individualitas berkenaan dengan keleluasaan dalam menyatakan ungkapan emosional merupakan sebuah pertanda terbentuknya suatu keterikatan hubungan. Keterikatan hubungan yang akrab justru sering dipandang sebagai hal yang kurang pas mengingat perlunya upaya untuk pencapaian prestasi hidup. Yang lebih penting, harus ditumbuhkan kesadaran terhadap konflik atas inner life yang mulai menurun, tetapi konflik itu justru mulai terungkap tampil secara nyata atau tereksternalisasi; namun bisa teratasi. Misalnya bila segala sesuatunya diserahkan kepada Tuhan, maka konflik tentang keinginan kembali mencoba narkoba bisa terakomodasikan. Konflik internal demikian justru harus diterima guna peningkatan ke tahap selanjutnya yakni kemandirian serta menerima konflik tersebut sebagai cara hidup, karena hal itu akan meningkatkan kemampuan toleransi terhadap paradoksal (hal yang berlebih-lebihan atau berlawanan) atau ambiguitas (ketidakpastian) suatu permasalahan yang sedang atau akan dihadapi.
Kemampuan untuk melakukan copying atas kebutuhan konflik dan tanggungjawab merupakan hal yang membedakan perkembangan ego antara saat ia sedang menjadi pecandu atau setelah ia merasa bebas dari kecanduan. Individu yang begitu mandiri mungkin tidak begitu lebih banyak memperoleh konflik daripada individu yang kurang matang egonya, tetapi individu yang menerima konflik lebih banyak justru menggambarkan kelincahan dia dalam menghadapi dan menyiasati lingkungannya Toleransi yang lebih besar dari munculnya ambiguitas akan meningkatkan struktur kognitif yang lebih kompleks dan suatu saat hal itu berfungsi untuk makin memperkuat kerangka kemandirian yang hendak dicapai individu dari ketergantungan obat-obat terlarang dan narkoba. Individu dengan kemandirian yang begitu tinggi akan lebih kuat dalam membina hubungan keterikatan dengan orang lain dimana ia begitu menghargai kemandirian orang lain dalam hubungan keterikatan emosi, afeksi atau konasi seperti itu. Dapat dimaknakan bahwa kemandirian untuk membina keterikatan dengan orang lain merupakan sebuah bukti untuk tidak terlampau bergantung pada hubungan keterikatan itu sendiri melainkan lebih menghargai kemandirian orang didalamnya.
Tahap tertinggi yang mungkin bisa dicapai untuk memberi treatment dalam perkembangan ego seorang pecandu adalah identifikasi adanya kemampuan untuk metransendentalkan konflik dalam tahap kemandirian. Adanya peningkatan dalam kualitas kompleksitas struktur kognitif, lebih mementingkan hubungan keterikatan inerpersonal yang bersifat mutualisma dan menghargai kebebasan dan kemandirian orang lain selama menjalin hubungan keterikatan tersebut. Ia pun mampu mengembangkan diri dimana bisa membedakan dirinya sebagai keutuhan pribadi atau identitas tersendiri dengan tetap menghargai sebuah makna individualitas. Dari sudut pandang Maslow, tahap ini lebih lazim dikenali sebagai tahap aktualisasi diri. Tahap ini adalah hal yang tersukar dan begitu sedikit kemungkinannya untuk bisa diterapkan kepada pecandu narkoba, karena kapasitas kematangan ego sendiri belum jelas batasannya bagi rata-rata pecandu, sehingga untuk membedakan mana yang lebih tinggi kematangan ego individu pecandu pun tidak begitu jelas untuk mengungkapkannya.
Kematangan perkembangan ego orang dewasa secara langsung dapat dinyatakan dalam hubungan dengan penyesuaian diri yang bagus (wellbeing) dalam menyiasati problem-problem lingkungan sekitarnya. Ada baiknya bila mengulas baik-buruknya penyesuaian diri (adjustment) seorang pecandu lebih didasarkan atas patokan-patokan normatif yang lebih bersifat umum dan luas dari sisi sosial. Namun yang terpenting adalah mengevaluasi kembali penyesuaian diri (adjustment) kelompok pecandu secara periodik berdasarkan perkembangan ego functioning yang lebih diarahkan dengan kuat lemahnya kesadaran diri dan untuk menjadi makin konformis (conscientious & conformist) dalam norma sosial masyarakat yang lebih luas dan umum, namun sederhana untuk dipahami dan diaplikasikan.

Fungsi Keluarga sebagai Variabel Intervensi
Apabila remaja telah memiliki rasa percaya bahwa orangtuanya akan memberi support maka individu yang bersangkutan akan mencapai suatu kondisi perasaan bahwa ia mampu menguasai ketrampilan-ketrampilan; baik dari segi fisik, emosi dan afeksional serta konseptual. Selanjutnya, kondisi perasaan demikian akan terus berkembang dalam berbagai pengalaman hidup sepanjang waktu dalam rentang kehidupan remaja. Berangkat dari berbagai pengalaman kehidupannya yang selalu memperoleh perasaan nyaman dan tenang atas segala kemungkinan kesulitan hidup karena selalu percaya adanya support orangtua, membuat remaja mampu untuk membangun identitas egonya dengan fokus future orientation. Selama remaja berinteraksi bersama dengan orangtuanya, seluruh pengalaman hidup diri individu yang dimulai sejak masa kanak-kanak sampai memasuki tahap masa remaja akan memperoleh peluang yang lebih besar dan lebih baik secara kualitatif untuk diinternalisasikan ke dalam pribadi remaja. Hasil dari internalisasi tersebut adalah persepsi remaja tentang nilai, norma dan perilaku figur orangtuanya selama memberikan support kepada dirinya. Oleh karena itu, percaya adanya support orangtua yang dikemukakan oleh Marcia menjadi sangat penting untuk dipersepsikan dalam alam pemikiran remaja; mengingat bahwa support orangtua adalah social support yang pertama dan utama. Sebab dengan adanya persepsi remaja atas support orangtua, maka individu yang bersangkutan akan mendapatkan rasa aman. Dengan adanya rasa aman maka remaja menjadi lebih berani untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya, terhadap berbagai bentuk self yang dapat dicapai sebagai substitusi figur pecandu narkoba. Apabila ia mampu memahami dan menghayati kelemahan dan keunggulan atas ability, potency dan competency dirinya, maka ia pun relatif lebih mudah untuk menyesuai terhadap kesulitan dan permasalahan yang sedang dan akan dihadapinya kelak. Dengan kata lain, ia bisa dianggap cukup mampu menghadapi tantangan krisis identitas yang kemungkinan bisa menimpa dirinya di waktu-waktu mendatang. Oleh karenanya diharapkan pecandu bisa bertindak realistis dan layak untuk menetapkan self nya sesuai dengan keunikan-keunikan yang dimilikinya. Ia mampu membedakan pribadinya dengan orang lain serta diterima oleh pandangan sosiobudaya serta memenuhi harapan dan tuntutan lingkup masyarakat tempat remaja dibesarkan.
Tidak selamanya sebuah support orangtua dapat diandalkan dalam memberi kontribuasi yang positif maupun konstruktif terhadap pembentukan identitas remaja. Sebab support orangtua merupakan bagian terbesar dari sebuah sistem dan mekanisme social support secara keseluruhan. Sementara itu, orangtua sebagai figur otoritas keluarga juga menerima tekanan dan tuntutan pula dari kelompok masyarakatnya; mengingat keluarga adalah masyarakat terkecil dan bagian terkecil dari sebuah masyarakat universal. Sebagai sebuah masyarakat terkecil, sebuah figur otoritas keluarga yakni orangtua akan mengembangkan dan memberlakukan tersendiri norma dan nilai keluarga atas anggota-anggotanya. Akan tetapi melihat keluarga sebagai bagian terkecil dari masyarakat universal, maka norma dan nilai keluarga tersebut akan menerima intervensi dan konfrontasi dari nilai, norma dan sistem keyakinan kelompok sosial masyarakat yang lebih besar dan memiliki kriteria sosiobudaya yang khas pula. Bagaimanapun juga, lingkungan masyarakat yang paling dominan adalah sebuah keluarga tempat anak remaja merasa memiliki keterikatan yang kuat dari aspek emosi, afektif, kognitif dan konatif.
DESAIN INTERVENSI
Batasan Operasionalisasi
Fakta-fakta telah menunjukkan bahwa narkoba merupakan penyakit kronis yang kemungkinan kambuhnya sangat besar meski telah diupayakan pengobatan terhadapnya. Sekitar 70% dari pecandu narkoba adalah siswa sekolah yang berusia antara 15-25 tahun. Berdasarkan dari data-data yang berhasil dihimpun dari guru-guru peserta penataran Guru Pembina OSIS yang diadakan oleh Direktorat Pembinaan Kesiswaan Dikdasmen pada Agustus 2000 tahun lalu, menunjukkan bahwa kasus penyalahgunaan narkoba sudah ditemukan di seluruh Propinsi di Indonesia. Data tersebut makin menegaskan bahwa keterlibatan siswa sekolah menjadi bertambah dominan dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Diyakini ada kejadian ironis antara upaya penanggulangan narkoba secara nasional dan jumlah pemakai atau penyalahgunaan narkoba yang justru meningkat dan diduga karena proses edukatif kampanye narkoba yang justru memicu anak sekolah untuk bereksplorasi terhadap narkoba tanpa dasar kontrol diri yang memadai.
Berhenti memakai narkoba adalah sebuah tindakan yang relatif sulit dihentikan karena dalam diri pemakai terjadi perubahan gangguan seperti perasaan, kesadaran, pola pikir, perilaku yang berbeda dengan nilai umum sosial kemasyarakatan yang berlaku. Pecandu narkoba rata-rata akan mengalami intoksikasi yakni terjadinya kondisi peralihan yang timbul akibat penggunaan narkoba secara rutin sehingga terjadi gangguan kesadaran fungsi kognitif, persepsi, emosi dan respon fisiologis lainnya yang dapat dikenali dari perilaku tak terkontrol. Penyembuhan korban ketergantungan narkoba merupakan masalah pelik karena mengandung kemungkinan kambuh yang cukup besar. Tingkat relaps (kembali menjadi penderita ketergantungan narkoba) sangat tinggi; yakni mencapai 90%. Kekambuhan tertinggi, rata-rata dalam waktu 90 hari setelah detoksifikasi dan umumnya 65-70% penderita akan kecanduan narkoba lagi pada pada tahun pertama pengobatan atau menjalani program rehabilitasi.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa penanggulangan masalah narkoba tidak hanya cukup dengan mengandalkan aspek kontribusi medis dan perangkat hukum, melainkan sangat diperlukan adanya upaya terpadu dan koordinasi lintas sektoral antara lembaga sosial kemasyarakatan dan pemberdayaan institusi kepemerintahan. Sikap keras dan punitif dari sisi hukum hendaknya dapat dikompensasikan dengan kontribusi medis, baik rehabilitasi secara fisiologis maupun psikologis. Salah satu aspek psikososial yang memberi kontribusi pada terjadinya penyalahgunaan narkoba adalah faktor kondisi keluarga, lebih tepatnya terjadinya degradasi fungsi keluarga. Ketahanan keluarga bisa dijadikan faktor penentu dalam mereduksi penyalahgunaan narkoba. Selain itu, penekanan fungsi dan peran sekolah tetap difokuskan lebih mendalam pada masalah pencegahan, mengingat bahwa keterlibatan siswa sekolah dalam kasus narkoba kian bertambah besar jumlahnya.
Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, intervensi sosial yang dirancang untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan narkoba di sini lebih difokuskan pada batas operasionalisasi program-program promotif, preventif dan implementatif yang bersifat psikososial di lingkup sekolah dan keluarga. Program promotif dalam intervensi demikian berupa suatu propaganda antinarkoba yang secara strategis harus melibatkan pihak keluarga, sekolah, institusi kepemerintahan terkait serta organisasi sosial kemasyarakatan, baik formal maupun nonfomal. Program promotif ini bertujuan untuk memberi informasi secara terbuka tentang substansi narkoba dan bahaya yang dapat ditimbulkannya secara komprehensif agar semua pihak bisa memperoleh wacana tentang narkoba selengkap-lengkapnya. Kampanye edukatif dalam program intervensi demikian harus melibatkan berbagai pakar yang membidangi masalah tersebut sehingga wacana tentang narkoba dapat dipahami secara multidimensi.
Substansi program promotif dapat berisi wacana tentang berbagai studi dan hasil penelitian ilmiah tentang jenis-jenis narkoba lengkap dengan efek yang dapat ditimbulkan, jenis-jenis bahaya penyalahgunaannya, data-data temuan dari RSKO atau panti rehabilitatif, gejala-gejala intoksikasi yang berhubungan dengan perubahan biokimia otak, overdosis dan cara penanggulangan pertama, karakteristik degradasi fungsi keluarga dan peran orangtua, pengenalan dan pengetahuan terhadap unit-unit posko narkoba, pengenalan narkoba dari aspek hukum maupun ekonomi, dampak infeksi penyakit yang ditimbulkan, dampak gangguan jiwa serta hal-hal praktis yang harus dilakukan jika menghadapi atau mengalami kasus narkoba.
Sementara itu program preventif dilakukan dengan membentuk jaringan multilevel antinarkoba dalam suatu gugus kendali yang tidak saja melibatkan institusi formal, namun juga memiliki aspek pemberdayaan kontrol sosial dalam segenap lapisan masyarakat. Secara kongkritnya, program preventif demikian dilakukan dengan membentuk satgas atau satkorlak antinarkoba yang keberadaannya dibawah koordinasi dan komando institusi formal kepemerintahan atau kemasyarakatan. Satgas atau satkorlak itu dapat berupa gugus kendali yang membentuk jaringan ke sekolah-sekolah atau kampus semacam PMR atau OSIS serta ke kampung-kampung semacam pemberdayaan karang taruna atau LKMD dengan pusat koordinasi tingkat kantor kecamatan. Untuk institusi kepemerintahan jaringan gugus kendali itu di bawah komando dan pengawasan bersama seperti Depdikbud atau Depag tingkat kantor kecamatan, Puskesmas atau RSU dan Polsek; sedangkan institusi formal kemasyarakatan dibawah koordinasi Pembantu Camat, Lurah atau Kepala Desa serta melibatkan Dewan Religi seperti Dewan Gereja atau Dewan Masjid tingkat kecamatan. Jaring gugus kendali terendah berada pada tingkat sekolah atau kampus, yakni siswa itu sendiri atau mahasiswa, sementara untuk tingkat non formal jaring terendah pada tingkat RT.
Tugas satgas demikian adalah mendistribusikan program promotif yang terstruktur baku dan distandardisasikan substansinya, mengimplementasikan kegiatan periodik dari propaganda, melakukan pendataan kasus-kasus narkoba, mengidentifikasi pelaku narkoba, melakukan survey sosial atas kelemahan sistem dan aplikasi propaganda antinarkoba secara periodik dimulai dari unit gugus jaring terkecil.
Target Spesifik
Penyalahgunaan narkoba adalah suatu kondisi yang bisa dikonseptualisasikan sebagai gangguan jiwa, sehingga penyalahguna seperti pemakai dan pecandu tidak mampu lagi berperan wajar mengikuti nilai dan norma perilaku dalam masyarakat. Kondisi ini terlihat pada makin melemahnya fungsi sosial, pekerjaan, sekolah dan ketidakmampuan mengendalikan diri dalam mengkonsumsi narkoba. Penderitaan dan kerusakan akibat penyalahgunaan narkoba berdampak luas, tidak hanya akan mengganggu diri pemakai atau pecandu tetapi juga menimpa keluarga dan masyarakat sekitarnya yang pada gilirannya bisa mengganggu lingkungan.
Kondisi keluarga yang memiliki resiko tinggi menjadi pendorong penyalahgunaan narkoba, diantaranya adalah kematian orangtua, perceraian, kurang harmonisnya hubungan orangtua, komunikasi yang buruk antara anak dengan orangtua, rumah tangga selalu diwarnai ketegangan emosi, suasana keluarga tidak memberikan rasa aman dan nyaman bagi anggotanya, orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan jarang di rumah serta adanya kelainan kepribadian orangtua. Dari sektor keluarga, target spesifik yang diharapkan adalah bahwa upaya penanganan narkoba harus bermuara pada satu hasil, yakni menciptakan kondisi sehat dan kondusif yang memungkinan anak remaja bisa berkembang secara optimal. Oleh karena itu pendekatan persuasif, edukatif dan psikologis dalam keluarga merupakan sebuah parameter untuk mengidentifikasi besar kecilnya peluang kasus narkoba menyusup dalam sebuah kehidupan keluarga. Sementara program promotif bersifat memberi sugesti dan melakukan kontrol sosial serta memantapkan fungsi keluarga dengan menunjukkan bahwa mereka sebagai sebuah keluarga tidaklah sendiri dan dapat berbagi masalah dengan lingkungan sosial terdekatnya.
Adapun populasi sasaran untuk program intervensi ini adalah daerah rawan narkoba berdasar data dari Kepolisian, Kejari, RSKO atau UGD RSU, Depdikbud untuk tiap-tiap kecamatan. Preliminary study dalam intervensi ini memfokuskan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor dan Bandung sebagai populasi sasaran prioritas pertama. Target sasaran adalah kelompok anak remaja dengan rentang usia 15-25 dengan operasionalisasi satuan gugus kendali formal untuk target siswa sekolah dan mahasiswa dan satuan gugus kendali non formal untuk target anak remaja yang tidak bersekolah. Sasaran untuk program pembinaan kesiswaan mencakup SD, SMP, SMU dan SMK di bawah Depdiknas cq. Dikdasmen serta MI, MTS, MA dibawah Depag dan Perguruan Tinggi di bawah koordinasi Dikti.
Dalam satuan gugus kendali dibentuk sejumlah kader penggerak sesuai kebutuhan dalam operasi unit dengan parameter prioritas titik rawan narkoba dan rentang kendali antara jumlah anggota gugus dengan banyaknya satuan gugus kendali. Misalnya kader penggerak dalam satuan gugus kendali ditentukan dengan perhitungan populasi jumlah per 100 kepala keluarga untuk tingkat non formal kemasyarakatan, sementara untuk tingkat formal sekolah dan kampus dengan jumlah per 100 siswa atau mahasiswa. Tugas kader penggerak bersifat fungsional, yakni memotivasi anggota satuan gugus kendali untuk terlibat dalam setiap event program intervensi, membuat catatan kemajuan aktivitas kelompok gugus kendali dan melaporkannya ke unit koordinasi dan unit operasi. Yang perlu diperhatikan bahwa setiap satuan gugus kendali harus memperoleh sekurang-kurangnya tiga buah catatan kemajuan dari masing-masing kader penggerak yang berlainan. Oleh karena itu infrastruktur semacam intra network communication mutlak diperlukan dalam kegiatan intervensi demikian yang menginduk pada database komisariat. Untuk efisiensi waktu dan biaya dapat dipergunakan jaringan situs web atau portal swasta dalam bentuk electronics mail; namun untuk tahap selanjutnya dalam tahun program berjalan perlu dibuat tersendiri situs web anti narkoba; sekaligus sebagai fungsi promotif dan propaganda ke masyarakat elektronik yang memerlukan dan belum tersentuh program demikian. .
Sosialisasi program intervensi pada tahap pertama ini masih bersifat promotif, yakni mempublikasikannya ke khalayak umum dengan menggandeng sejumlah perusahaan atau BUMN dengan maksud memperoleh simpati masyarakat dan dukungan moral atau mengetahui tanggapan masyarakat yang lebih luas. Hal demikian ditujukan untuk memperoleh ancangan dalam menyusun cara atas program intervensi yang lebih efektif dalam operasionalisasinya dengan parameter sambutan positif masyarakat yang lebih kuat dan dukungan maupun keterlibatan massa yang lebih besar. Jika program intervensi telah dievaluasi ulang serta cukup memberi bukti atas penguatan kepedulian sosial yang lebih tinggi dan sambutan positif yang lebih kuat, maka program intervensi tahap I mulai dilaksanakan dengan sasaran pertama adalah daerah yang dianggap paling rawan narkoba berdasar identifikasi yang telah dilakukan oleh komisi inti dan komisi pakar serta temuan terbaru unit koordinasi dan unit operasi di lapangan pasca evaluasi.

RANGKUMAN
Suatu ketergantungan narkoba dipandang sebagai sebuah proses disadari atau tidak disadari yang berjalan cukup lama dan bermula saat mereka memasuki masa transisi dalam tahap-tahap perkembangan menuju manusia dewasa. Di masa transisi ini, kebutuhan individu akan berubah-ubah sesuai dengan tahap-tahap perkembangan yang harus dicapai saat itu. Suatu keluarga, orangtua atau orang dewasa didalamnya; merupakan sebuah lingkungan utama dan pertama yang memberi kontribusi positif atau negatif dalam masa transisi tersebut. Akan tetapi melihat keluarga sebagai bagian terkecil dari masyarakat universal, maka norma dan nilai keluarga tersebut akan menerima intervensi dan konfrontasi dari nilai, norma dan sistem keyakinan kelompok sosial masyarakat yang lebih besar dan memiliki kriteria sosiobudaya yang khas pula. Disinilah perlunya sebuah intervensi sosial terhadap pecandu narkoba maupun untuk mengantisipasi keterlibatan narkoba dari anak remaja harus benar-benar memperhitungkan aspek nilai, norma dan keyakinan tradisional masyarakat tempat anak remaja berasal.
Pribadi – self, baik kelompok pecandu narkoba ataupun bukan, secara optimal selama program intervensi diharapkan dapat membangkitkan pembentukan keseimbangan baru dalam kebersamaan hidup dengan lingkungan yang didalamnya mencakup tiga karakteristik yakni: kepastian rasa aman, keleluasaan bertindak dan memelihara kondisi kehidupan lingkungannya. Trust disini sangat penting bagi dirinya – self; karena tanpa trust, pecandu justru dapat menganggap bahwa program intervensi adalah suatu kekuatan musuh; dan dasar-dasar untuk memperoleh hal itu adalah dengan adanya kesempatan, tindakan eksploitatif, perlindungan diri selama program dilaksanakan. Untuk mencapai konformis, aturan normatif kelompok dalam program intervensi disetting melalui satuan gugus kendali untuk menumbuhkan penghayatan rasa takut adanya penolakan dari kelompok yang lebih luas (kemasyarakatan) sehingga keinginan untuk mencapai penerimaan sosial menjadikan dirinya mau mengendalikan impuls-impulsnya yang tersugesti oleh narkoba.
Suatu intervensi sosial yang digunakan dalam kasus narkoba haruslah mengetahui sejauhmana seorang individu dapat mencapai keseimbangan pembentukan makna, apakah terlihat kontradiksi antara suatu waktu yang tepat dengan tindakan yang sepantasnya serta melihat bagaimana pemeliharaan kondisi lingkungan tempat ia hidup agar proses pembentukan makna tersebut terjadi secara optimal. Konsentrasi dari program intervensi ini merupakan serangkaian cara yang efektif dan ilmiah untuk melakukan penetrasi informasi yang kongkrit tentang upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan masalah narkoba melalui fungsi keluarga dan sekolah dengan tujuan menumbuhkan self motivated setiap pribadi dalam mengantisipasi permasalahan bahaya narkoba dengan mengutamakan prinsip-prinsip moral dan etika secara normatif. Hasil nyata yang diharapkan adalah terbukanya wawasan pengetahuan secara kognitif tentang permasalahan bahaya narkoba secara kongkrit dan mendetail yang dapat mempengaruhi aspek afeksi, emosi dan afiliasi terhadap pelaku, pemakai, pecandu maupun bukan pecandu narkoba.


DAFTAR PUSTAKA

Archer, Sally L. 1994. Interventions for Adolescent Identity Development. A Sage Focus Edition, USA

Coleman J., et. al. 1984. Abnormal Psychology and Modern Life (7th ed.). Foresman USA

Deaux, K., Lawrence S. Wrigthsman. 1988. Social Psychology. Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove, California

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Psychology. A Life Span Approach. 5th ed. Tata McGraw Hill Inc., New Delhi

Ingersoll, Gary M. 1989. Adolescents. 2th. Ed. Prentice Hall Inc., A Division of Simon & Schuster, Englewood Cliffs, New Jersey

Kroger, Jane. 1997. Identity in Adolescence. The Balance between Self and Other. 2th ed. Adolescence and Society Series. Routledge, New York, USA

Marcia, James E. et. al., 1993. Ego Identity. A Handbook for Psychosocial Research Springer Verlag New York Inc., USA

Steinberg, L. 1993. Adolescence.International Edition. 3th. Ed. McGraw Hill Inc., New York, USA

Schaefer, Charles E., Howard L. Millman. 1981. How to Help Children With Common Problems. Van Nostrand Reinhold Co., Inc., New York, USA

Woolfolk, A E. 1998. Educational Psychology. 7th. Ed. Allyn and Bacon, USA


Sumber Data

Kompas, harian umum, 11 Desember 1999
_________________, 13 Mei 2000
_________________, 10 Desember 2001
Media Indonesia, harian umum, 1 Nopember 2000
_________________, 21 April 2001
_________________, 11 Februari 2000
_________________, 5 Agustus 2000
_________________, 30 Oktober 2001
_________________, 4 September 2000
_________________, 18 Agustus 1999
Pikiran Rakyat, harian umum, 27 Desember 2001
Republika, harian umum, 27 Juni 2001
_________________, 13 Mei 2000
_________________, 8 Januari 2001

Team building | Program objectives and steps

This publication contains a team building program that will help you and your group form a high maturity team, equiped to handle and solve internal problems. It deals with:
· Goal setting. Individuals in a team must understand and accept the goals of the group and the organization.
· Role setting. Team members must know what others expect from them. Ambiguity in role expectations produces stress and hampers performance.
· Procedures. All team members must know how to get work done together (e.g. decision making, problem solving, time management and conflict management / resolution.)
· Relationships. Put simply, people who respect one another usually work together more effectively, than people who do not.
The step-by-step approach will help you and your team members clarify and achieve these key variables. The materials supplied assumes you have little or no knowledge of team building concepts. All necessary material are included in the PDF for a non-technical person to deliver the team building program and achieve significant improvements in team work and to the organization.
The publication is self contained and formalizes the steps, concisely and clearly, you need to conduct a consultative team building process.
Outline Team Building Program Steps
The following steps are elaborated on in the publication.
· Preparation. The preparations you need to undertake before you assemble your team members including inter alia, setting the agenda and the aids you will need during your team building sessions.
· Introduction. Helps you introduce the concepts of team building to your team members, the purpose of team building, definitions you may need, selecting discussion topics, and setting SMART goals for the exercise.
· Diagnostic Assessment. The publication includes a diagnostic assessment instrument for each team member to score, which you will be able to summarize for the group. This will define areas important to individuals and the group as a whole in terms of interactions and tasks.
· Discussion. The dimensions covered in the diagnostic assessment are amplified in the publication so that you will be able to facilitate team building in your organization (or clients) with authority. This section will enable you to undertake the exercise with a high probability of getting to the root problems that are holding back your team and hampering business performance.
· Solution Finding. The exercise will have in all probability yielded areas of weakness and sources of dissatisfaction, with potential for improvement. These are the performance improvement opportunities. Consult with your team to develop mutually acceptable solutions based on acceptance of organizational goals.
· Monitoring Progress. Most important! You have identified the problems, found solutions, now you need to implement them! Without follow-up, monitoring and delegation of responsibility your efforts will have been in vain. This step is comprehensively explained.
To Summarize
The Team Building PDF will enable you to:
· Draw employees into the team decision making process through consultation and participation, in programed manor
· Through a programed sequence of activities and an exercise, have employees define the problems
· Allow employees to have their say on work issues and their needs
· Properly setup a program to address the issues raised
· Save money on expensive consulting fees, one 2 hour session using the team building exercise and the team building activities will yield the same information as any consultant at a fraction of the cost
· Develop solutions to issues
· Agree on mutually beneficial encompassing solution
· Get the mutually beneficial encompassing solution implemented
The Benefits of this Team Building Program
· Improves working relations, at all levels
· Yields a smoother running department / organization
· Improves resource productivity
· Achieves goal congruence
Team Building Program Format
The Team Building PDF uses a carefully planned sequence of team building activities, then a diagnostic exercise, followed by analysis and evaluation. The logical, common sense, framework will show where change is likely to be most effective and what can be done to improve the situation. By the end of the process the procedure will highlight
· what is wrong
· where improvements are possible
· what should be done to improve the situation


Team Building Diagnostic Activities
There are a number of simple team activities to highlight, diagnose and describe the problem, thus sign posting possible solutions.
· a problem development time-line team activity to gain a historical perspective
· a predicting the future team activity to forecast the future consequences for all involved in the current unsatisfactory situation if changes are not made
· a change analysis team activity to explore the causes and effects of the current situation
· an employee needs analysis team activity to explore what employees want from their jobs
By the end of the initial session you will have achieved a position of knowing
· what is wrong (or perceived to be wrong,) plus the background to
· when it went wrong,
· why it went wrong and
· some ideas of possible and feasible solutions.
Team Building Diagnostic Exercise
Employees are required/ requested to undertake a diagnostic team building exercise in the form an employee survey. The 108 questions are categorized into the following predetermined 9 dimensions, considered key to team building in an organization.
· Clarity of goals and objectives
· Levels of openness and willingness to confront issues
· Levels of support and trust
· Levels of cooperation and the handling conflict
· Working methods and decision making procedures
· Appropriateness of leadership applied
· Opportunities for and / or the quality of regular performance review
· Opportunities for individual development and advancement
· Levels of inter-group relations
Reaction
The original motivation for conducting the team building program will have highlighted the need for improvement and change in some aspect of how things are done, affecting at least one level in the organizational. This will probably affect management and as such will entail changing existing practices. You should be aware that this program should be delivered in the context of respecting the human factors and sensitivities. (See
team building requirements.)
Team Building The Human Context
The methodology and framework for this team building program is largely the application of common sense, in an ordered way. It's more a matter of routine and less of a product of inspiration. The underlying technique codifies and coordinates a common sense approach to not only team building, but will also enable you as a business professional to apply it in other management related problems.
The Human Context - Resistance to Change
Since the main objective is to improve existing methods of operation by effecting change, regard must be paid to the reactions of all employees of any status who experience these effects. As a business professional, you may have accepted the need for change and indeed be excited to be part of any change process. There is a danger, however, that you may have overlooked the fact that the majority of people have a natural resistance to change.
Every person, whether manager, or employee, is to a greater or less extent interested in his or her job. The fact that the job has been done in a certain way for what appear to be good and sufficient reasons invests the existing method with a certain sanctity.
The framework of this team building program will guide you through the transformation process, maximizing the chances of reducing the resistance to change factor. Properly applied, with due consideration to the human factors involved, this team building program will guide you through the taught process of dealing with peoples concerns and resistance to change, at all levels.
Team Building Human Factors
Success with this team building program will come when the underlying methodology is applied when a careful and continuous watch is kept over the human issues. Aphoristically, it can be said to be that this team building program is “10 per cent technical and 90 per cent psychological.” When delivering the team building program there should be adequate consultation before beginning it and support from senior management be given, during the program and in implementing the agreed changes the program will highlight.
Employee Consultation and Participation
This approach to team building is employee centric. As such it involves you acting on behalf of the organization consulting with and inviting employees to define a problem and or an envisioned improved state. By having employees undertake the exercise and processing their results, then constructively discussing the way forward, you will determine the employee perceptions on the 9 defined team building dimensions.
The results of the exercise and activities are the norms that exist in the minds of the employee who undertake the exercise, borne of their experiences. This approach will enable you to:
· define the current situation
· determine and define a future ideal state
· and then the path forward from the current to the future ideal state
As such, it is important to distinguish between information and consultation.
Information is simply telling people what you are doing or what will be done to them or by them. This perhaps is one of the reasons (an important one at that) why your team arrived at its current situation, they were informed what to do, how to do it and when to do it. If honesty is displayed, clearly it has not worked, in the hearts and minds of employees.
Consultation is much more; it is telling people what you are doing, or plan to do, asking them what they think and feel about it and inviting constructive advice. (It does not follow that such advice or thoughts must be followed, but they do have to be properly taken into consideration in ones own thinking and actions and most certainly in the design of systems and jobs.)
By the nature of the thought processes, a measure of participation by those concerned with the problem and in the development of a solution will help to bring every ones ideas into line. As a result, any solution will be felt to be joint and not originating with one person only; consequently it will be more likely to be accepted and implemented.
This distinction is important, and the importance of involving employees through participation and consultation cannot be overstressed. Remember it at all times in your career when you are dealing with people you are responsible for the performance of. They, like you, prefer to be consulted, not told.

FENOMENOLOGI

PENGANTAR
Fenomenologi merupakan sebuah pengembangan filosofi yang diadaptasi oleh sosiolog tertentu untuk memperluas serta memperkembangkan pemahaman tentang hubungan antara kondisi kesadaran manusia dan kehidupan sosial. Sebagai sebuah pendekatan dalam sosiologi, fenomenologi mencoba membuka pikiran tentang bagaimana kesadaran manusia diimplikasikan dalam sebuah hasil tindakan, situasi dan dunia sosial. Fenomenologi pertamakali dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938), seorang matematikawan Jerman yang mencoba objektivisme ilmu dihindarkan untuk memahami dunia secara adekuat. Dia mengajukan berbagai macam konseptualisasi filosofis dan teknik yang dirancang untuk menempatkan sumber-sumber atau esensi realitas dalam kesadaran manusia. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama ketika Alfred Schutz (1899-1959) datang menghadirkan sejumlah masalah dalam teori Max Weber yang mendorong fenomenologi memasuki lingkup sosiologi. Schutz menyaring tulisan-tulisan Husserl guna memperoleh intisari pendekatan sosiologi yang relevan. Schutz menata tentang penggambaran makna subjektif yang sanggup membangkitkan dunia sosial secara nyata dan tampak objektif.
Migrasi Schutz ke US ketika Perang Dunia II mulai meletus, membawa kajian-kajian pengetahuan fenomenologi yang makin meningkat, serta menyebarkan pendekatan tersebut dalam lingkup akademik orang-orang Amerika dan secara mendasar mewarnai transformasi perubahan dalam menginterpretasikan masalah-masalah sosiologi. Dua pendekatan yang diungkapkan olehnya yakni, reality constructionism & ethnomethodology. Reality constructionism merupakan sintesa Schutz yang diperoleh dari penyaringan fenomenologi, dengan inti bahan pemikiran sosiologi klasik yang memperhitungkan kemungkinan realitas sosial. Ethnomethodologi merupakan pendekatan yang mengintegrasikan pandangan Parsonian dengan mengkaitkan keberlakuan sosial dalam fenomenologi serta menjelaskan makna-makna yang terjadi melalui cara-cara orang memberlakukan kebiasaan hidup sehari-hari. Fenomenologi dipergunakan sebagai dasar pendekatan sosiologi melalui dua cara, yakni untuk menteorikan problem sosiologi dari segi substansinya serta mengembangkan metode riset sosiologi yang adekuat. Sejak fenomenologi masuk dalam kemasyarakatan untuk mengkaji konstruksi manusia berkaitan erat dengan kehidupan pribadi sosiologinya, maka dengan sendirinya teori serta metode pengkajiannya juga dapat dikonstruksi. Oleh karena itu, fenomenologi tampak menawarkan sebuah penekanan studi korektif atas konseptualisasi dan metode riset positivistik guna mencapai penemuan yang lebih memuaskan untuk menjawab sejumlah permasalahan para fenomenolog. Fenomenologi menghadirkan teknik-teknik penteorian dan metode kualitatif guna merumuskan kebermaknaan manusia dalam kehidupan sosialnya. Tantangan fenomenologi akhir-akhir ini dipandang sebagai kerangka sosiologi yang bergaya konvensional serta kurang menggugah. Secara perlahan-lahan, kedatangan fenomenologi dipandang sebagai penjelas tambahan yang melengkapi atau bagian disiplin yang sanggup mengintegrasi, memberi kontribusi yang bermanfaat penuh sebagai alat analitis untuk menyeimbangkan pendekatan-pendekatan objektivistik.

TEKNIK
Fenomenologi agak berbeda dari ilmu sosial konvensional. Fenomenologi adalah orientasi teoretik, tetapi tidak sekedar menggeneralisasikan deduksi dari proposisi yang secara empirik dapat diuji. Keberlakuan fenomenologi lebih berada pada tingkat metasosiologis, mendemonstrasikan serangkaian premis melalui analisis deskriptif yang menghasilkan tentang diri (self), situasional dan konstitusi sosial. Melalui sejumlah pendemonstrasian, orang lebih memahami makna dari fenomena (gejala), kesadaran manusia yang mendalam yang datang serta berasal dari pengalaman duniawi.
Teknik fenomenologi dalam sosiologi dewasa ini mencakup metoda “bracketing” (mengumpulkan dalam pengelompokan). Pendekatan demikian mengangkat item-item dibawah penyelidikan menjadi terungkap konteks kebermaknaannya dalam dunia penginderaan yang umum, dengan menunda seluruh penyimpulan yang bersifat masih menduga (judgement). Sebagai contoh, item “alkoholism sebagai sebuah penyakit” tidak begitu saja dievaluasi dalam penggolongan fenomenologikal sebagai sesuatu yang benar atau salah. Ada upaya lebih, yakni reduction ditampilkan dalam item yang mana hal tersebut diasses menurut terminologi untuk mengoperasikan bagaimana kesadaran berlaku. Dengan kata lain, item tersebut harus ditela’ah menurut cara pandang bagaimana dan didefinisikan oleh siapa. Pereduksian fenomenologikal meliputi berbagai sudut pandang esensi serta ulasan berbagai arah kepentingan kebermaknaan yang kesemuanya memperlihatkan independensi dari seluruh kejadian atau bagian-bagian kejadian sehingga bebas tujuan. Mereduksi gejala (fenomenon) yang telah digolongkan serta dikumpulkan berkelompok-kelompok merupakan sebuah teknik untuk mengumpulkan insight teoretik kedalam kebermaknaan elemen kesadaran.
Alat-alat fenomonelogi mencakup penggunaan introspeksi dan metoda Verstehen yang menawarkan serangkaian deskripsi rinci tentang bagaimana kesadaran kedirian (itself) berlangsung. Introspeksi mempersyaratkan proses-proses subjektif pribadi dalam diri fenomenolog sebagai suatu sumber untuk studi, sementara Verstehen mempersyaratkan upaya empati untuk dapat menjelajah kedalam pemikiran orang lain. Tidak hanya introspeksi dan Verstehen sebagai alat analisis fenomenologi, tetapi juga memberlakukan prosedur yang biasa digunakan oleh individu ketika membawakan pribadi mereka. Oleh karena itu fenomenologist sebagai seorang analist hendaknya juga mempelajari dirinya sendiri ketika memberlakukan kebiasaan subjek pada pribadinya sehingga dapat membedah kesadaran diri dan skema tindakan-tindakan. Dalam teknik demikian, sikap analitis menuju peran kesadaran hendaknya telah dikembangkan dalam rancangan kebiasaan hidup sehari-hari.
Sejak kognisi merupakan sebuah elemen krusial fenomenologi, beberapa ahli teori memfokuskan pengetahuan sosial sebagai landasan awal dari teknik mereka. Berkaitan erat dengan bagaimana pengetahuan pada umumnya dapat dihasilkan, diperluas dan diinternalisasi; teknik demikian membutuhkan wacana teoretik serta penggalian historis yang biasanya bersama-sama terjadi sebagai dasar-dasar pengetahuan. Seringkali pemikiran religius ditempatkan pada posisi utama dan pertama sebagai sumber dan legitimasi dunia pengetahuan. Oleh karena itu, fenomenologi seringkali dikaitkan dengan riset-riset yang menggunakan metoda kualitatif. Peneliti fenomenologi seringkali menggunakan media analisis dalam bentuk kelompok kecil, situasi sosial dan organisasi yang menerapkan serangkaian teknik face to face dalam observasi partisipan. Riset ethnographic seringkali memberlakukan alat-alat fenomenologikal sehingga memerlukan interviu intensif untuk mengungkap orientasi subjek atas dunia nyata kehidupan mereka yang dipraktekkan secara luas dalam lingkup kesehariannya. Alat-alat kualitatif digunakan dalam riset fenomenologi guna memperoleh insight atas sejumlah mikrodinamik ruang lingkup tertentu kehidupan manusia yang mereka lakukan atau mendorong pembentukan aktivitas dalam kesadaran manusia.
Teknik-teknik tertentu cabang ethnomethodologi dalam fenomenologi telah dikembangkan dalam bentuk-bentuk praktis yang menghasilkan sejumlah alat keberlakuan sosial sehingga memungkinkan dapat dioperasikan dalam hidup sehari-hari. Pada saat-saat tertentu, “demonstrasi penggangguan/pelanggaran (breaching)” dilakukan guna menyingkap tabir esensi kemapanan rutinitas dan itu berarti mempergunakan sejumlah rutinitas ancaman. Karena gangguan semacam demikian kadangkala menghasilkan kekacauan hubungan yang telah terbina, agaknya teknik demikian mulai diabaikan. Situasi sosial yang divideokan dewasa ini telah memungkinkan dapat menangkap tentang gangguan-gangguan yang dihasilkan oleh para partisipan guna menginterpretasikan kebermaknaan tindakan serta mengamati struktur sosial yang terjadi. Analisis percakapan merupakan teknik yang seringkali juga dimanfaatkan untuk menggambarkan bagaimana seseorang mengenali hubungan yang terjadi satu sama lain melalui pembicaraan, disamping juga dapat mengungkap latarbelakang pengetahuan umum mereka. Interelasi antara penalaran umum serta penalaran abstrak juga dapat dijelaskan dan diungkap melalui pendalaman yang lebih luas oleh para peneliti, sebagai contohnya tentang bagaimana terbentuknya dasar-dasar praktek keilmuan dan matematika yang berlaku serta dibangun dengan latarbelakang pemikiran-pemikiran umum secara sosial.

TEORI
Tugas pokok fenomenologi sosial adalah mendemonstrasikan interaksi timbalbalik yang terjadi diantara proses-proses tindakan manusia, penstrukturan yang terjadi secara situasional serta konstruksi realitas. Tugas demikian tidak sekedar mengkhususkan pada aspek yang dianggap sebagai faktor penyebab, akan tetapi seluruh dimensi pandangan fenomenologi juga ditujukan untuk mengungkap serta menjabarkan keseluruhan pembentukan variabel. Para fenomenolog menggunakan istilah reflexity untuk menunjukkan karakteristik cara-cara terbentuknya dimensi yang tercakup baik sebagai sebab-sebab dasar maupun akibat dari keseluruhan apa yang terjadi pada manusia. Oleh karena itu, tugas fenomenologi juga mengungkap manifestasi proses-proses tanpa henti dalam merefleksikan tindakan, situasi, realitas pada berbagai ragam pola bentukan dalam kehidupan dunia (being in the world).
Fenomenologi tidak dapat dipisahkan dengan analisis sikap dasar alamiah (natural attitude). Pemahaman demikian menunjukkan bahwa fenomenologi merupakan sebuah aturan kebiasaan cara individu untuk terlibat dalam dunianya, menempatkan keberadaan (existensi) yang diakui, mengasumsikannya sebagai objektivitas, serta menelusuri berbagai tindakan yang telah ditentukan menjadi kebiasaan. Bahasa, budaya serta pengalaman kebiasaan umum pada sikap dasar alami manusia dipandang sebagai gambaran objektif dunia luar (eksternal) yang dipelajari oleh individu dalam menjalani aktivitas kehidupan mereka. Fenomenologi menguak tabir kehidupan manusia dalam pola-pola pengalaman sosial sebagai sebuah perjuangan menuju pada keterlibatan yang lebih bermakna dalam dunia pengetahuan mereka. Keseluruhan proses-proses demikian dikarakteristikkan melalui penjenisan (typifying) mode kesadaran menuju pada klasifikasi pemanfaatan data. Oleh karena itu, pengalaman kehidupan manusia dalam dunianya, secara fenomenologi dikaji dengan memanfaatkan istilah typifications. Contohnya: bagaimana seorang anak menampilkan bunyi-bunyi suara yang umum serta cara melihat lingkungannya, mencakup didalamnya bagian-bagian tubuh mereka, dengan orang lain, binatang, kendaraan. Anak-anak tersebut ternyata mengembangkan pemahaman melalui pengenalan kategori serta melakukan tipifikasi makna untuk masing-masing item dalam bentuk bahasa konvensional. Dengan cara yang serupa, anak-anak belajar memformulasikan aktivitas umum yang biasa dilakukan, dan hal demikian disebut sebagai recipes for action. Typifications & recipes, pertamakali diinternalisasikan melalui titik tolak kesadaran sepenuhnya, menjadi (pengkristalan) sedimented, sebagaimana lapisan-lapisan karang. Oleh karenannya, sikap dasar alami mereka seperti itu merupakan sebuah kebermaknaan pengetahuan dan akan menjadi kebiasaan tindakan yang ditempuh.
Individu mengasumsikan pengetahuan sebagai hal objektif dan semua orang mempunyai alasan untuk bertindak-tanduk. Setiap individu mengasumsikan bahwa mereka mengetahui tentang dunianya: Semua mempercayai dan meyakini, sehingga mereka berbagi suatu pembiasaan. Oleh karena itu, biografi tiap-tiap individu menjadi unik, karena masing-masing berkembang menuju suatu kumpulan typifications & recipes yang relatif berbeda satu sama lain., sehingga interpretasi yang dilakukan hendaklah juga berlainan. Setiap interaksi sosial yang terjadi menandai bahwa para pelaku (individu) mengembangkan kehidupan perasaan, dan secara umum mereka akan saling berbagi dalam suatu pemahaman mutualisma, sehingga setiap hal atau apapun adalah benar adanya. Fenomenologi menekankan kehidupan manusia dalam dunia inter subjektif, terlepas apakah mereka memiliki tanggapan terbaik untuk berbagi dalam realitas. Sementara itu, realitas yang paling mengemuka, umumnya akan dialami dan secara tertentu realitas tersebut akan menjadi kebermaknaan pasti yang dikonstruksi dan dialami dalam budaya, sosial dan kelompok pekerjaan yang berlainan. Bagi fenomenologi, seluruh kesadaran manusia adalah praktis terjadi. Individu akan berlaku menurut dunianya karena mereka bertindak menurut aturan-aturan yang bertujuan didasarkan pada typification dan recipes yang berkumpul pada persediaan sumber pengetahuan mereka (stock of knowledge). Kesadaran adalah proses intensional yang terbentuk dari komponen berpikir, pemahaman, perasaa, pengingatan, imajinasi serta cara-cara mengantisipasi secara langsung dunia mereka. Objek kesadaran, dan tindakan intensional merupakan sumber dari seluruh realitas sosial, dan pada suatu waktu akan menyinggung aspek material.
Oleh karena itu, typification merupakan turunan dari keberlakuan kesadaran umum yang diinternalisasikan, menjadi alat-alat kesadaran individu yang ditujukan untuk membentuk dunia kehidupan (lifeworld), menggabungkan bagian kesadaran manusia dan tindakan. Kesadaran umum merupakan sumber daya yang memperkuat individu untuk memandang realitas subjektivitas menusia sebagai sebuah realitas objektif. Oleh karenanya, individu akan melakukan tindakan secara terus menerus sebagai upaya untuk mengkolaborasikan proyeksi-proyeksi mereka, dimana mereka akan memperkuat kerangka pemikiran guna memperoleh pembuktian suatu konstruksi yang telah terbentuk.
Interaksi sosial dalam pandangan fenomenologis merupakan sebuah proses penafsiran konsruksi timbalbalik dari individu pelaku yang mengaplikasikan sumber pengetahuan atas suatu kejadian. Individu memiliki orientasi yang berpangkal dari dirinya ketika berhubungan dengan orang lain melalui sejumlah perhitungan kebermaknaan tipifikasi situasi yang diketahui melalui kebiasaan kesadaran umum. Skema tindakan yang berlangsung berangkat dari sekumpulan presumsi yang dihasilkan dari interseksi (irisan) tindakan-tindakan intensional yang menunjukkan individu sebagai anggota kelompok. Sebagai anggota dalam sebuah kolektivitas, individu melakukan komunikasi atau koordinasi dengan segala sesuatu yang disukai untuk terjadi diantara mereka. Bagi seorang anggota, pemberlakuan dan pengungkapan dilakukan dengan ekspresi indeksikal (petunjuk) dari sifat situasi yang tak dapat terelakan terjadi dalam setiap proses interaksi, sehingga timbul penafsiran tentang diri, orang lain menurut kontekstual. Melalui praktek-praktek penfasiran, anggota mengikuti situasi menurut pribadinya dalam suatu bentuk yang koheren. Oleh karena itu, anggota cenderung mengabaikan aspek-aspek yang tidak relevan dan menimbulkan kesenjangan, mengesampingkan inkonsistensi dan mengasumsikan kebermaknaan yang terus berlanjut, sehingga mereka memformulasikan kejadian menurut diri pribadinya. Ketika situasi sosial termanifestasikan dalam pola-pola rutin yang berlangsung secara nyata, maka para peneliti mencoba menangkapnya dengan mengacu pada aspek-aspek normatif dengan berpedoman pada panduan atau petunjuk. Dari segi fenomenologis, aturan petunjuk merupakan tampilan indeks proses interpretasi yang diterapkan oleh anggota ketika melangsungkan interaksi mereka. Peraturan, kebijakan, hierarki dan organisasi harus dipergunakan sepenuhnya dalam menginterpretasi tindakan sepanjang terjadi interaksi, guna menjabarkan sistem-sistem rasional yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan. Struktur kerangka kerja demikian dilakukan guna mempertahankan situasi agar tetap sesuai berdasar pada aspek faktualitas.
Fenomenologi menganalisis aturan-aturan realitas sosial guna mencari tahu bagaimana keberlakuan pengetahuan memberi kontribusi terhadap aturan-aturan tersebut. Oleh karena itu tindakan penjenisan (tipifikasi) dari serangkaian interaksi dapat menjadi habituasi (pembiasaan). Melalui sedimentasi lapisan kesadaran, manusia mampu menguasai habituasi menjadi sebuah kenyataan dan menghasilkan eksternalisasi (menampakannya keluar kesadaran). Sepanjang terdapat kebermaknaan usaha perjuangan hidup, manusia membangun penjelasan teoretik dan pembenaran (justifikasi) moral agar habituasi tersebut dapat dipandang atau dinilai absah untuk pemberlakuannya. Dalam konteks kebermaknaan yang lebih tinggi, pemberlakuan demikan menjadi hal yang objektif. Ketika internalisasi dilakukan dari generasi ke generasi, proses keberlakuan umum ini diinstitusionalisasikan (dilembagakan) dalam serangkaian tuntutan diatas keinginan individual. Secara periodik, institusi (pelembagaan) dimaksudkan untuk memperbaiki respons-respons yang terancam, sehingga individu dapat menyetel kembali konstruksi kognitif atau afektifnya ketika bermigrasi pada tempat yang sama sekali berbeda dengan lokasi terdahulu.

PENERAPAN
Menerapkan fenomenologi dalam sosiologi memerlukan prosedur yang berbeda dengan riset-riset positivistik. Praktek fenomenologi menunjukkan bukti-bukti dari kerangka kerja subjektivistik yang kian meningkat dan dapat dipublikasikan. Analisis fenomenologi biasa ditemukan dalam media massa dengan konteks budaya; contohnya ketika menerapkan sejumlah pendekatan terhadap bidang tertentu maka perlu dipahami interplay refleksive dunia kehidupan individu dengan materi program yang hendak ditayangkan dalam sebuah acara talk show TV. Konteks-konteks sosial digambarkan dan direfraksikan menurut identitas yang umum dengan penyertaan narasi guna membangkitkan image tentang segala sesuatu yang telah dilihat secara realistis. Kerangka kerja fenomenologi juga diterapkan untuk menjelaskan bagaimana interaksi keluarga dan anak-anak sepanjang dalam kehidupan sehari-hari guna menjabarkan sebuah konstruksi tentang masa anak-anak (childhood). Sejumlah investigasi memperlihatkan adanya otoritas orang dewasa dan sebagian perspektif keilmuan yang secara aalmiah memberikan pengalaman kepada anak untuk mengarungi dunianya. Kompetensi interaktif dan komunikasi antara bayi dan anak-anak juga menjadi kian terfokus untuk memperoleh penjelasan tersendiri serta tidak berkurang esensinya ketika dijabarkan sebagai dorongan (drive) menuju tingkat fungsional yang lebih tinggi. Kerangka kerja fenomenologis juga berhasil dipergunakan untuk menjabarkan pengalaman traumatis seseorang menurut tingkat pertumbuhan usia dengan melakukan serangkaian penjenisan tindakan interaksi dari sejumlah pengalaman rasa sakit kronis dari klien. Ternyata dalam sebuah budaya memperlihatkan adanya cara-cara pengelolaan rasa sakit berkaitan dengan masa-masa perkembangan usia individu yang secara nyata menjadi sebuah kesadaran umum, sehingga memberikan manfaat interpretasi tersendiri bagi sebuah proses kegagalan pengalaman mengatasi rasa sakit yang dilakukan oleh klien. Melalui fenomenologis, pengalaman subjektif pasien dapat terfokus dan dikonstruksi apabila fenomenolog mencoba mengembangkan pemahaman yang bersifat empati dalam dunia kehidupan pasien tersebut. Dari segi implikasi etika, diperlukan berbagai variasi definsi gangguan penyakit menurut cara pandang klien, sehingga faktor bahasa untuk mengungkapkan respons-respons sakit dapat menjadi sebuah model paradigmatik yang berpengaruh pada kedalaman serta pola komunikasi antara pasien dan profesional medis.

IMPLIKASI
Bagi fenomenologi, masyarakat (society), realitas sosial, aturan sosial, institusi, organisasi, situasi, interaksi dan tindakan individual merupakan konstruksi yang benar-benar nyata dalam sebuah entitas manusia. Fenomenologi memiliki pandangan yang lebih maju dalam menyatakan manusia sebagai agen yang kreatif mengkonstruksi dunia sosial. Seluruh kesadaran manusia tidak terelakkan dan terjadi. Namun kreativitas manusia sanggup pula mengurangi kebermaknaan, menurunkan nilai esensi dan mengacaukan apa yang telah dan seharusnya terjadi, karena manusia sanggup menciptakan diskoneksitas dalam bentuk kehidupan yang menjadi tidak nyata. Ini merupakan mimpi buruk bagi fenomenologi. Oleh karena itu para praktisi masih takut untuk berlaku sebagaimana sosiolog positivistik yang menteorikan segala sesuatu menjadi sebuah dunia yang berlaku umum. Sosiolog memandang fenomena sosial dalam sebuah sikap alamiah sebagai objek yang dapat dilegitimasi daripada dianalisis. Sosiolog fenomenologis menyelidiki produk-produk sosial sebagai sebuah tindakan kebermaknaan manusia, terlepas apakah itu berupa sikap, perilaku, keluarga, usia, group etnik, kelas sosial masyarakat. Hasil-hasil sosiologis dapat berupa fiktif belaka ketika kita mencoba untuk memahaminya menurut standar perangkat penyelidikan seperti setting interviu, lokasi observasi, situasi pengambilan dan pengumpulan data, lapangan penelitian serta instrumen riset semacamnya. Konteks kebermaknaan perlu diterapkan oleh para analist fenomenologi untuk menunjukkan korelasi antara subjek dibawah penyelidikan dan menegaskan pokok bahasan yang hendak diungkap sebaik apa yang biasanya dilakukan oleh para subjek pelaku. Para fenomenolog harus berjuang keras untuk mengungkapkan secara nyata bagaimana subjek pelaku mengkonstruksikan sesuatu, dengan segala upaya mengenali kembali secara berulangkali pribadi subjek ketika mengkonstruksi sesuatu menurut dirinya sendiri. Dalam pemahaman fenomenologis, konstruksi manusia terjadi dengan seutuhnya, yang diantarkan melalui penggagasan pemikiran abstrak. Walaupun fenomenologi berkaitan dengan tindakan evaluatif, akan tetapi ia bersikap netral secara politis.
Fenomenologi dapat dipergunakan secara nyata untuk mengungkap konstruksi pemikiran manusia yang lebih luas, bahkan sanggup membongkar latarbelakang teoretik yang terpendam atau diluar batas kesadaran itu sendiri. Fenomenolog memerlukan pemenuhan kebermaknaan manusia secara mutlak, jalur ikatan hubungan dengan subjek dan peka mengindera petunjuk-petunjuk tentang keberlakuan. Pengaruh fenomenologi dapat terjadi pada sosiologi kontemporer dengan melihat adanya peningkatan atas kerangka teoretik tentang humanisasi, metode riset, prosedur asesmen pendidikan dan model pengajaran. Yang perlu digarisbawahi bahwa catatan tentang constructionism, situasionalism dan reflexity merupakan inti dari fenomenologi yang memberi bukti-bukti dasar rumusan teori yang terus berkembang dewasa ini. Walaupun ada anggapan bahwa fenomenologi identik dengan disiplin sosiologi dan merupakan bagian dari sosiologi, akan tetapi memiliki pengaruh kuat pada sebagian besar riset berbagai bidang keilmuan. Sejumlah inklusi dari pendekatan kualitatif dalam riset konvensional biasanya memperlihatkan adanya akomodasi peran fenomenologi didalamnya. Penggunaan yang lebih intensif dan meluas teknik-teknik interviu, observasi partisipan dan Forum Group Discussion (FGD) menggambarkan keinginan para sosiolog yang bukan fenomenolog, berupaya mengabungkan pendekatan subjektivistik dalam kerangka kerja mereka. Studi tentang kesadaran yang konstruktif merupakan sebuah metode yang mulai berkembang luas dan makin banyak dipergunakan guna mendalami sosiologi dikalangan komunitas ilmiah serta pendidikan kesarjanaan.
Fenomenologi membangun tanda-tanda tertentu dalam area kebijakan pendidikan dengan membaginya pada sejumlah jenjang tingkat pendidikan. Kelemahan tes-tes objektif diatasi dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Tes-tes yang dilakukan terhadap anak cenderung akan menjadi meningkat perolehan skornya apabila tester (penguji) menghargai subjektivitas yang ada dalam diri anak. Para pendidik menjadi lebih waspada dalam mencermati kebutuhan akan pemahaman terhadap proses-proses kognitif yang berlangsung dari siswa-siswa yang belajar sosial, sebab selama mekanisme belajar terjadi, perlu untuk memperhitungkan tuntutan atau tekanan parameter kesadaran individu, mengingat bahwa mereka berhak untuk terlibat dalam proses merefleksikan kesadaran diri. Analisis refleksive dalam fenomenologi dapat menjadi popular karena hal tersebut menjembatani pertumbuhan dan perkembangan budaya dalam keterkaitannya dengan pembentukan identitas seseorang yang tampaknya perlu digali dengan lebih mendalam dengan perspektif tentang dunia virtual, cyberspace dan permainan komputerisasi.
__________
REFERENSI

Bogdan, Robert & Steven J. Taylor. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods : A Phenomenological Approach to The Social Sciences. New York : Wiley

Berger, Peter L. & brigitte Berger. 1972. Sociology: A Biographical Approach. New York. Basic Books

Garfinkel, Harold. 1967. Studies in Ethnomethodology.Englewood Cliffs, N.J., Prentice Hall

Psathas, George. 1973. Phenomenological Sociology: Issue & Applications. NewYork Wiley
Ritzer, George. 1996. Modern Sociological Theory. New York : McGraw Hill
PENGANTAR
Salah satu upaya Manajemen SDM & Organisasi adalah melakukan pemetaan kompetensi SDM guna memperoleh pegawai yang dapat diandalkan. Pemetaan kompetensi (Competency Mapping) merupakan inventarisasi sejumlah potensi SDM yang mencakup skill, dasar kecakapan umum, bakat kerja, minat dan kemampuan dari seluruh pegawai agar memperoleh individu yang benar-benar cocok dan tepat guna mengemban dan melaksanakan tugas. Pemetaan kompetensi dapat mencakup aktivitas yang berupa rekrutmen, seleksi, promosi untuk tujuan pengangkatan status pegawai; atau demosi, mutasi, rotasi dan terminasi.
Melalui Pemetaan Kompetensi, Manajemen SDM dan Organisasi mampu bertindak lebih terbuka serta tidak diskriminatif dalam mendapatkan tenaga SDM yang handal guna mengoptimalisasikan prestasi kerja menurut karakteristik pekerjaan. Dengan demikian keunikan tiap tugas yang diemban oleh sumber daya manusia diharapkan mampu memperlihatkan prestasi dan kinerja yang lebih optimal, efektif dan efisien. Media Duta Manggala Bandung mengembangkan program pengelolaan dan pemberdayaan SDM secara terintegrasi Personal Assessment (Psikotest) & Training untuk menjawab permasalahan yang dihadapi setiap organisasi.

Personal Assessment
Merupakan salah satu kegiatan evaluasi psikologi yang bertujuan menggali potensi SDM secara individual dalam kaitannya dengan pekerjaan. Melalui jasa ini dapat diperoleh gambaran secara khusus tentang kelebihan/kekuatan maupun kelemahan SDM. Data psikologis yang diperoleh akan sangat besar manfaatnya guna menunjang efektivitas penempatan, mutasi, pelatihan dan pengembangan, serta penentuan jenjang karir. Secara garis besar, Pemetaan kompetensi melalui Personal Assessment (psikotes) akan mengeksplorasi kepribadian meliputi lima aspek utama:
Ø Fungsi Kecerdasan (Kognisi)
Ø Fungsi Sikap Kerja (Motivasi & Prestasi)
Ø Fungsi Emosi
Ø Fungsi Interaksi
Ø Kepemimpinan

Tujuan
1. Memperoleh tenaga kerja yang berpotensi tinggi dan dapat diandalkan
2. Memilih dan memilah tenaga kerja yang berpotensi tinggi secara bergradasi
3. Memperoleh tenaga kerja berpotensi tinggi yang berkarakteristik relatif sama dengan karakteristik posisi jabatan
Kegunaan
1. Memperoleh gambaran kekuatan SDM dalam organisasi perusahaan baik secara individual, kelompok, sektoral maupun keseluruhan
2. Merupakan kerangka acuan untuk membuat konstelasi formasi SDM yang kohesif, sinergi dan andal
3. Memperoleh informasi tentang karakteristik potensial tiap-tiap SDM
4. Sebagai informasi untuk memprediksikan & memproyeksikan potensi SDM dimasa mendatang