Kamis, 11 Maret 2010

FENOMENOLOGI

PENGANTAR
Fenomenologi merupakan sebuah pengembangan filosofi yang diadaptasi oleh sosiolog tertentu untuk memperluas serta memperkembangkan pemahaman tentang hubungan antara kondisi kesadaran manusia dan kehidupan sosial. Sebagai sebuah pendekatan dalam sosiologi, fenomenologi mencoba membuka pikiran tentang bagaimana kesadaran manusia diimplikasikan dalam sebuah hasil tindakan, situasi dan dunia sosial. Fenomenologi pertamakali dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938), seorang matematikawan Jerman yang mencoba objektivisme ilmu dihindarkan untuk memahami dunia secara adekuat. Dia mengajukan berbagai macam konseptualisasi filosofis dan teknik yang dirancang untuk menempatkan sumber-sumber atau esensi realitas dalam kesadaran manusia. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama ketika Alfred Schutz (1899-1959) datang menghadirkan sejumlah masalah dalam teori Max Weber yang mendorong fenomenologi memasuki lingkup sosiologi. Schutz menyaring tulisan-tulisan Husserl guna memperoleh intisari pendekatan sosiologi yang relevan. Schutz menata tentang penggambaran makna subjektif yang sanggup membangkitkan dunia sosial secara nyata dan tampak objektif.
Migrasi Schutz ke US ketika Perang Dunia II mulai meletus, membawa kajian-kajian pengetahuan fenomenologi yang makin meningkat, serta menyebarkan pendekatan tersebut dalam lingkup akademik orang-orang Amerika dan secara mendasar mewarnai transformasi perubahan dalam menginterpretasikan masalah-masalah sosiologi. Dua pendekatan yang diungkapkan olehnya yakni, reality constructionism & ethnomethodology. Reality constructionism merupakan sintesa Schutz yang diperoleh dari penyaringan fenomenologi, dengan inti bahan pemikiran sosiologi klasik yang memperhitungkan kemungkinan realitas sosial. Ethnomethodologi merupakan pendekatan yang mengintegrasikan pandangan Parsonian dengan mengkaitkan keberlakuan sosial dalam fenomenologi serta menjelaskan makna-makna yang terjadi melalui cara-cara orang memberlakukan kebiasaan hidup sehari-hari. Fenomenologi dipergunakan sebagai dasar pendekatan sosiologi melalui dua cara, yakni untuk menteorikan problem sosiologi dari segi substansinya serta mengembangkan metode riset sosiologi yang adekuat. Sejak fenomenologi masuk dalam kemasyarakatan untuk mengkaji konstruksi manusia berkaitan erat dengan kehidupan pribadi sosiologinya, maka dengan sendirinya teori serta metode pengkajiannya juga dapat dikonstruksi. Oleh karena itu, fenomenologi tampak menawarkan sebuah penekanan studi korektif atas konseptualisasi dan metode riset positivistik guna mencapai penemuan yang lebih memuaskan untuk menjawab sejumlah permasalahan para fenomenolog. Fenomenologi menghadirkan teknik-teknik penteorian dan metode kualitatif guna merumuskan kebermaknaan manusia dalam kehidupan sosialnya. Tantangan fenomenologi akhir-akhir ini dipandang sebagai kerangka sosiologi yang bergaya konvensional serta kurang menggugah. Secara perlahan-lahan, kedatangan fenomenologi dipandang sebagai penjelas tambahan yang melengkapi atau bagian disiplin yang sanggup mengintegrasi, memberi kontribusi yang bermanfaat penuh sebagai alat analitis untuk menyeimbangkan pendekatan-pendekatan objektivistik.

TEKNIK
Fenomenologi agak berbeda dari ilmu sosial konvensional. Fenomenologi adalah orientasi teoretik, tetapi tidak sekedar menggeneralisasikan deduksi dari proposisi yang secara empirik dapat diuji. Keberlakuan fenomenologi lebih berada pada tingkat metasosiologis, mendemonstrasikan serangkaian premis melalui analisis deskriptif yang menghasilkan tentang diri (self), situasional dan konstitusi sosial. Melalui sejumlah pendemonstrasian, orang lebih memahami makna dari fenomena (gejala), kesadaran manusia yang mendalam yang datang serta berasal dari pengalaman duniawi.
Teknik fenomenologi dalam sosiologi dewasa ini mencakup metoda “bracketing” (mengumpulkan dalam pengelompokan). Pendekatan demikian mengangkat item-item dibawah penyelidikan menjadi terungkap konteks kebermaknaannya dalam dunia penginderaan yang umum, dengan menunda seluruh penyimpulan yang bersifat masih menduga (judgement). Sebagai contoh, item “alkoholism sebagai sebuah penyakit” tidak begitu saja dievaluasi dalam penggolongan fenomenologikal sebagai sesuatu yang benar atau salah. Ada upaya lebih, yakni reduction ditampilkan dalam item yang mana hal tersebut diasses menurut terminologi untuk mengoperasikan bagaimana kesadaran berlaku. Dengan kata lain, item tersebut harus ditela’ah menurut cara pandang bagaimana dan didefinisikan oleh siapa. Pereduksian fenomenologikal meliputi berbagai sudut pandang esensi serta ulasan berbagai arah kepentingan kebermaknaan yang kesemuanya memperlihatkan independensi dari seluruh kejadian atau bagian-bagian kejadian sehingga bebas tujuan. Mereduksi gejala (fenomenon) yang telah digolongkan serta dikumpulkan berkelompok-kelompok merupakan sebuah teknik untuk mengumpulkan insight teoretik kedalam kebermaknaan elemen kesadaran.
Alat-alat fenomonelogi mencakup penggunaan introspeksi dan metoda Verstehen yang menawarkan serangkaian deskripsi rinci tentang bagaimana kesadaran kedirian (itself) berlangsung. Introspeksi mempersyaratkan proses-proses subjektif pribadi dalam diri fenomenolog sebagai suatu sumber untuk studi, sementara Verstehen mempersyaratkan upaya empati untuk dapat menjelajah kedalam pemikiran orang lain. Tidak hanya introspeksi dan Verstehen sebagai alat analisis fenomenologi, tetapi juga memberlakukan prosedur yang biasa digunakan oleh individu ketika membawakan pribadi mereka. Oleh karena itu fenomenologist sebagai seorang analist hendaknya juga mempelajari dirinya sendiri ketika memberlakukan kebiasaan subjek pada pribadinya sehingga dapat membedah kesadaran diri dan skema tindakan-tindakan. Dalam teknik demikian, sikap analitis menuju peran kesadaran hendaknya telah dikembangkan dalam rancangan kebiasaan hidup sehari-hari.
Sejak kognisi merupakan sebuah elemen krusial fenomenologi, beberapa ahli teori memfokuskan pengetahuan sosial sebagai landasan awal dari teknik mereka. Berkaitan erat dengan bagaimana pengetahuan pada umumnya dapat dihasilkan, diperluas dan diinternalisasi; teknik demikian membutuhkan wacana teoretik serta penggalian historis yang biasanya bersama-sama terjadi sebagai dasar-dasar pengetahuan. Seringkali pemikiran religius ditempatkan pada posisi utama dan pertama sebagai sumber dan legitimasi dunia pengetahuan. Oleh karena itu, fenomenologi seringkali dikaitkan dengan riset-riset yang menggunakan metoda kualitatif. Peneliti fenomenologi seringkali menggunakan media analisis dalam bentuk kelompok kecil, situasi sosial dan organisasi yang menerapkan serangkaian teknik face to face dalam observasi partisipan. Riset ethnographic seringkali memberlakukan alat-alat fenomenologikal sehingga memerlukan interviu intensif untuk mengungkap orientasi subjek atas dunia nyata kehidupan mereka yang dipraktekkan secara luas dalam lingkup kesehariannya. Alat-alat kualitatif digunakan dalam riset fenomenologi guna memperoleh insight atas sejumlah mikrodinamik ruang lingkup tertentu kehidupan manusia yang mereka lakukan atau mendorong pembentukan aktivitas dalam kesadaran manusia.
Teknik-teknik tertentu cabang ethnomethodologi dalam fenomenologi telah dikembangkan dalam bentuk-bentuk praktis yang menghasilkan sejumlah alat keberlakuan sosial sehingga memungkinkan dapat dioperasikan dalam hidup sehari-hari. Pada saat-saat tertentu, “demonstrasi penggangguan/pelanggaran (breaching)” dilakukan guna menyingkap tabir esensi kemapanan rutinitas dan itu berarti mempergunakan sejumlah rutinitas ancaman. Karena gangguan semacam demikian kadangkala menghasilkan kekacauan hubungan yang telah terbina, agaknya teknik demikian mulai diabaikan. Situasi sosial yang divideokan dewasa ini telah memungkinkan dapat menangkap tentang gangguan-gangguan yang dihasilkan oleh para partisipan guna menginterpretasikan kebermaknaan tindakan serta mengamati struktur sosial yang terjadi. Analisis percakapan merupakan teknik yang seringkali juga dimanfaatkan untuk menggambarkan bagaimana seseorang mengenali hubungan yang terjadi satu sama lain melalui pembicaraan, disamping juga dapat mengungkap latarbelakang pengetahuan umum mereka. Interelasi antara penalaran umum serta penalaran abstrak juga dapat dijelaskan dan diungkap melalui pendalaman yang lebih luas oleh para peneliti, sebagai contohnya tentang bagaimana terbentuknya dasar-dasar praktek keilmuan dan matematika yang berlaku serta dibangun dengan latarbelakang pemikiran-pemikiran umum secara sosial.

TEORI
Tugas pokok fenomenologi sosial adalah mendemonstrasikan interaksi timbalbalik yang terjadi diantara proses-proses tindakan manusia, penstrukturan yang terjadi secara situasional serta konstruksi realitas. Tugas demikian tidak sekedar mengkhususkan pada aspek yang dianggap sebagai faktor penyebab, akan tetapi seluruh dimensi pandangan fenomenologi juga ditujukan untuk mengungkap serta menjabarkan keseluruhan pembentukan variabel. Para fenomenolog menggunakan istilah reflexity untuk menunjukkan karakteristik cara-cara terbentuknya dimensi yang tercakup baik sebagai sebab-sebab dasar maupun akibat dari keseluruhan apa yang terjadi pada manusia. Oleh karena itu, tugas fenomenologi juga mengungkap manifestasi proses-proses tanpa henti dalam merefleksikan tindakan, situasi, realitas pada berbagai ragam pola bentukan dalam kehidupan dunia (being in the world).
Fenomenologi tidak dapat dipisahkan dengan analisis sikap dasar alamiah (natural attitude). Pemahaman demikian menunjukkan bahwa fenomenologi merupakan sebuah aturan kebiasaan cara individu untuk terlibat dalam dunianya, menempatkan keberadaan (existensi) yang diakui, mengasumsikannya sebagai objektivitas, serta menelusuri berbagai tindakan yang telah ditentukan menjadi kebiasaan. Bahasa, budaya serta pengalaman kebiasaan umum pada sikap dasar alami manusia dipandang sebagai gambaran objektif dunia luar (eksternal) yang dipelajari oleh individu dalam menjalani aktivitas kehidupan mereka. Fenomenologi menguak tabir kehidupan manusia dalam pola-pola pengalaman sosial sebagai sebuah perjuangan menuju pada keterlibatan yang lebih bermakna dalam dunia pengetahuan mereka. Keseluruhan proses-proses demikian dikarakteristikkan melalui penjenisan (typifying) mode kesadaran menuju pada klasifikasi pemanfaatan data. Oleh karena itu, pengalaman kehidupan manusia dalam dunianya, secara fenomenologi dikaji dengan memanfaatkan istilah typifications. Contohnya: bagaimana seorang anak menampilkan bunyi-bunyi suara yang umum serta cara melihat lingkungannya, mencakup didalamnya bagian-bagian tubuh mereka, dengan orang lain, binatang, kendaraan. Anak-anak tersebut ternyata mengembangkan pemahaman melalui pengenalan kategori serta melakukan tipifikasi makna untuk masing-masing item dalam bentuk bahasa konvensional. Dengan cara yang serupa, anak-anak belajar memformulasikan aktivitas umum yang biasa dilakukan, dan hal demikian disebut sebagai recipes for action. Typifications & recipes, pertamakali diinternalisasikan melalui titik tolak kesadaran sepenuhnya, menjadi (pengkristalan) sedimented, sebagaimana lapisan-lapisan karang. Oleh karenannya, sikap dasar alami mereka seperti itu merupakan sebuah kebermaknaan pengetahuan dan akan menjadi kebiasaan tindakan yang ditempuh.
Individu mengasumsikan pengetahuan sebagai hal objektif dan semua orang mempunyai alasan untuk bertindak-tanduk. Setiap individu mengasumsikan bahwa mereka mengetahui tentang dunianya: Semua mempercayai dan meyakini, sehingga mereka berbagi suatu pembiasaan. Oleh karena itu, biografi tiap-tiap individu menjadi unik, karena masing-masing berkembang menuju suatu kumpulan typifications & recipes yang relatif berbeda satu sama lain., sehingga interpretasi yang dilakukan hendaklah juga berlainan. Setiap interaksi sosial yang terjadi menandai bahwa para pelaku (individu) mengembangkan kehidupan perasaan, dan secara umum mereka akan saling berbagi dalam suatu pemahaman mutualisma, sehingga setiap hal atau apapun adalah benar adanya. Fenomenologi menekankan kehidupan manusia dalam dunia inter subjektif, terlepas apakah mereka memiliki tanggapan terbaik untuk berbagi dalam realitas. Sementara itu, realitas yang paling mengemuka, umumnya akan dialami dan secara tertentu realitas tersebut akan menjadi kebermaknaan pasti yang dikonstruksi dan dialami dalam budaya, sosial dan kelompok pekerjaan yang berlainan. Bagi fenomenologi, seluruh kesadaran manusia adalah praktis terjadi. Individu akan berlaku menurut dunianya karena mereka bertindak menurut aturan-aturan yang bertujuan didasarkan pada typification dan recipes yang berkumpul pada persediaan sumber pengetahuan mereka (stock of knowledge). Kesadaran adalah proses intensional yang terbentuk dari komponen berpikir, pemahaman, perasaa, pengingatan, imajinasi serta cara-cara mengantisipasi secara langsung dunia mereka. Objek kesadaran, dan tindakan intensional merupakan sumber dari seluruh realitas sosial, dan pada suatu waktu akan menyinggung aspek material.
Oleh karena itu, typification merupakan turunan dari keberlakuan kesadaran umum yang diinternalisasikan, menjadi alat-alat kesadaran individu yang ditujukan untuk membentuk dunia kehidupan (lifeworld), menggabungkan bagian kesadaran manusia dan tindakan. Kesadaran umum merupakan sumber daya yang memperkuat individu untuk memandang realitas subjektivitas menusia sebagai sebuah realitas objektif. Oleh karenanya, individu akan melakukan tindakan secara terus menerus sebagai upaya untuk mengkolaborasikan proyeksi-proyeksi mereka, dimana mereka akan memperkuat kerangka pemikiran guna memperoleh pembuktian suatu konstruksi yang telah terbentuk.
Interaksi sosial dalam pandangan fenomenologis merupakan sebuah proses penafsiran konsruksi timbalbalik dari individu pelaku yang mengaplikasikan sumber pengetahuan atas suatu kejadian. Individu memiliki orientasi yang berpangkal dari dirinya ketika berhubungan dengan orang lain melalui sejumlah perhitungan kebermaknaan tipifikasi situasi yang diketahui melalui kebiasaan kesadaran umum. Skema tindakan yang berlangsung berangkat dari sekumpulan presumsi yang dihasilkan dari interseksi (irisan) tindakan-tindakan intensional yang menunjukkan individu sebagai anggota kelompok. Sebagai anggota dalam sebuah kolektivitas, individu melakukan komunikasi atau koordinasi dengan segala sesuatu yang disukai untuk terjadi diantara mereka. Bagi seorang anggota, pemberlakuan dan pengungkapan dilakukan dengan ekspresi indeksikal (petunjuk) dari sifat situasi yang tak dapat terelakan terjadi dalam setiap proses interaksi, sehingga timbul penafsiran tentang diri, orang lain menurut kontekstual. Melalui praktek-praktek penfasiran, anggota mengikuti situasi menurut pribadinya dalam suatu bentuk yang koheren. Oleh karena itu, anggota cenderung mengabaikan aspek-aspek yang tidak relevan dan menimbulkan kesenjangan, mengesampingkan inkonsistensi dan mengasumsikan kebermaknaan yang terus berlanjut, sehingga mereka memformulasikan kejadian menurut diri pribadinya. Ketika situasi sosial termanifestasikan dalam pola-pola rutin yang berlangsung secara nyata, maka para peneliti mencoba menangkapnya dengan mengacu pada aspek-aspek normatif dengan berpedoman pada panduan atau petunjuk. Dari segi fenomenologis, aturan petunjuk merupakan tampilan indeks proses interpretasi yang diterapkan oleh anggota ketika melangsungkan interaksi mereka. Peraturan, kebijakan, hierarki dan organisasi harus dipergunakan sepenuhnya dalam menginterpretasi tindakan sepanjang terjadi interaksi, guna menjabarkan sistem-sistem rasional yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan. Struktur kerangka kerja demikian dilakukan guna mempertahankan situasi agar tetap sesuai berdasar pada aspek faktualitas.
Fenomenologi menganalisis aturan-aturan realitas sosial guna mencari tahu bagaimana keberlakuan pengetahuan memberi kontribusi terhadap aturan-aturan tersebut. Oleh karena itu tindakan penjenisan (tipifikasi) dari serangkaian interaksi dapat menjadi habituasi (pembiasaan). Melalui sedimentasi lapisan kesadaran, manusia mampu menguasai habituasi menjadi sebuah kenyataan dan menghasilkan eksternalisasi (menampakannya keluar kesadaran). Sepanjang terdapat kebermaknaan usaha perjuangan hidup, manusia membangun penjelasan teoretik dan pembenaran (justifikasi) moral agar habituasi tersebut dapat dipandang atau dinilai absah untuk pemberlakuannya. Dalam konteks kebermaknaan yang lebih tinggi, pemberlakuan demikan menjadi hal yang objektif. Ketika internalisasi dilakukan dari generasi ke generasi, proses keberlakuan umum ini diinstitusionalisasikan (dilembagakan) dalam serangkaian tuntutan diatas keinginan individual. Secara periodik, institusi (pelembagaan) dimaksudkan untuk memperbaiki respons-respons yang terancam, sehingga individu dapat menyetel kembali konstruksi kognitif atau afektifnya ketika bermigrasi pada tempat yang sama sekali berbeda dengan lokasi terdahulu.

PENERAPAN
Menerapkan fenomenologi dalam sosiologi memerlukan prosedur yang berbeda dengan riset-riset positivistik. Praktek fenomenologi menunjukkan bukti-bukti dari kerangka kerja subjektivistik yang kian meningkat dan dapat dipublikasikan. Analisis fenomenologi biasa ditemukan dalam media massa dengan konteks budaya; contohnya ketika menerapkan sejumlah pendekatan terhadap bidang tertentu maka perlu dipahami interplay refleksive dunia kehidupan individu dengan materi program yang hendak ditayangkan dalam sebuah acara talk show TV. Konteks-konteks sosial digambarkan dan direfraksikan menurut identitas yang umum dengan penyertaan narasi guna membangkitkan image tentang segala sesuatu yang telah dilihat secara realistis. Kerangka kerja fenomenologi juga diterapkan untuk menjelaskan bagaimana interaksi keluarga dan anak-anak sepanjang dalam kehidupan sehari-hari guna menjabarkan sebuah konstruksi tentang masa anak-anak (childhood). Sejumlah investigasi memperlihatkan adanya otoritas orang dewasa dan sebagian perspektif keilmuan yang secara aalmiah memberikan pengalaman kepada anak untuk mengarungi dunianya. Kompetensi interaktif dan komunikasi antara bayi dan anak-anak juga menjadi kian terfokus untuk memperoleh penjelasan tersendiri serta tidak berkurang esensinya ketika dijabarkan sebagai dorongan (drive) menuju tingkat fungsional yang lebih tinggi. Kerangka kerja fenomenologis juga berhasil dipergunakan untuk menjabarkan pengalaman traumatis seseorang menurut tingkat pertumbuhan usia dengan melakukan serangkaian penjenisan tindakan interaksi dari sejumlah pengalaman rasa sakit kronis dari klien. Ternyata dalam sebuah budaya memperlihatkan adanya cara-cara pengelolaan rasa sakit berkaitan dengan masa-masa perkembangan usia individu yang secara nyata menjadi sebuah kesadaran umum, sehingga memberikan manfaat interpretasi tersendiri bagi sebuah proses kegagalan pengalaman mengatasi rasa sakit yang dilakukan oleh klien. Melalui fenomenologis, pengalaman subjektif pasien dapat terfokus dan dikonstruksi apabila fenomenolog mencoba mengembangkan pemahaman yang bersifat empati dalam dunia kehidupan pasien tersebut. Dari segi implikasi etika, diperlukan berbagai variasi definsi gangguan penyakit menurut cara pandang klien, sehingga faktor bahasa untuk mengungkapkan respons-respons sakit dapat menjadi sebuah model paradigmatik yang berpengaruh pada kedalaman serta pola komunikasi antara pasien dan profesional medis.

IMPLIKASI
Bagi fenomenologi, masyarakat (society), realitas sosial, aturan sosial, institusi, organisasi, situasi, interaksi dan tindakan individual merupakan konstruksi yang benar-benar nyata dalam sebuah entitas manusia. Fenomenologi memiliki pandangan yang lebih maju dalam menyatakan manusia sebagai agen yang kreatif mengkonstruksi dunia sosial. Seluruh kesadaran manusia tidak terelakkan dan terjadi. Namun kreativitas manusia sanggup pula mengurangi kebermaknaan, menurunkan nilai esensi dan mengacaukan apa yang telah dan seharusnya terjadi, karena manusia sanggup menciptakan diskoneksitas dalam bentuk kehidupan yang menjadi tidak nyata. Ini merupakan mimpi buruk bagi fenomenologi. Oleh karena itu para praktisi masih takut untuk berlaku sebagaimana sosiolog positivistik yang menteorikan segala sesuatu menjadi sebuah dunia yang berlaku umum. Sosiolog memandang fenomena sosial dalam sebuah sikap alamiah sebagai objek yang dapat dilegitimasi daripada dianalisis. Sosiolog fenomenologis menyelidiki produk-produk sosial sebagai sebuah tindakan kebermaknaan manusia, terlepas apakah itu berupa sikap, perilaku, keluarga, usia, group etnik, kelas sosial masyarakat. Hasil-hasil sosiologis dapat berupa fiktif belaka ketika kita mencoba untuk memahaminya menurut standar perangkat penyelidikan seperti setting interviu, lokasi observasi, situasi pengambilan dan pengumpulan data, lapangan penelitian serta instrumen riset semacamnya. Konteks kebermaknaan perlu diterapkan oleh para analist fenomenologi untuk menunjukkan korelasi antara subjek dibawah penyelidikan dan menegaskan pokok bahasan yang hendak diungkap sebaik apa yang biasanya dilakukan oleh para subjek pelaku. Para fenomenolog harus berjuang keras untuk mengungkapkan secara nyata bagaimana subjek pelaku mengkonstruksikan sesuatu, dengan segala upaya mengenali kembali secara berulangkali pribadi subjek ketika mengkonstruksi sesuatu menurut dirinya sendiri. Dalam pemahaman fenomenologis, konstruksi manusia terjadi dengan seutuhnya, yang diantarkan melalui penggagasan pemikiran abstrak. Walaupun fenomenologi berkaitan dengan tindakan evaluatif, akan tetapi ia bersikap netral secara politis.
Fenomenologi dapat dipergunakan secara nyata untuk mengungkap konstruksi pemikiran manusia yang lebih luas, bahkan sanggup membongkar latarbelakang teoretik yang terpendam atau diluar batas kesadaran itu sendiri. Fenomenolog memerlukan pemenuhan kebermaknaan manusia secara mutlak, jalur ikatan hubungan dengan subjek dan peka mengindera petunjuk-petunjuk tentang keberlakuan. Pengaruh fenomenologi dapat terjadi pada sosiologi kontemporer dengan melihat adanya peningkatan atas kerangka teoretik tentang humanisasi, metode riset, prosedur asesmen pendidikan dan model pengajaran. Yang perlu digarisbawahi bahwa catatan tentang constructionism, situasionalism dan reflexity merupakan inti dari fenomenologi yang memberi bukti-bukti dasar rumusan teori yang terus berkembang dewasa ini. Walaupun ada anggapan bahwa fenomenologi identik dengan disiplin sosiologi dan merupakan bagian dari sosiologi, akan tetapi memiliki pengaruh kuat pada sebagian besar riset berbagai bidang keilmuan. Sejumlah inklusi dari pendekatan kualitatif dalam riset konvensional biasanya memperlihatkan adanya akomodasi peran fenomenologi didalamnya. Penggunaan yang lebih intensif dan meluas teknik-teknik interviu, observasi partisipan dan Forum Group Discussion (FGD) menggambarkan keinginan para sosiolog yang bukan fenomenolog, berupaya mengabungkan pendekatan subjektivistik dalam kerangka kerja mereka. Studi tentang kesadaran yang konstruktif merupakan sebuah metode yang mulai berkembang luas dan makin banyak dipergunakan guna mendalami sosiologi dikalangan komunitas ilmiah serta pendidikan kesarjanaan.
Fenomenologi membangun tanda-tanda tertentu dalam area kebijakan pendidikan dengan membaginya pada sejumlah jenjang tingkat pendidikan. Kelemahan tes-tes objektif diatasi dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Tes-tes yang dilakukan terhadap anak cenderung akan menjadi meningkat perolehan skornya apabila tester (penguji) menghargai subjektivitas yang ada dalam diri anak. Para pendidik menjadi lebih waspada dalam mencermati kebutuhan akan pemahaman terhadap proses-proses kognitif yang berlangsung dari siswa-siswa yang belajar sosial, sebab selama mekanisme belajar terjadi, perlu untuk memperhitungkan tuntutan atau tekanan parameter kesadaran individu, mengingat bahwa mereka berhak untuk terlibat dalam proses merefleksikan kesadaran diri. Analisis refleksive dalam fenomenologi dapat menjadi popular karena hal tersebut menjembatani pertumbuhan dan perkembangan budaya dalam keterkaitannya dengan pembentukan identitas seseorang yang tampaknya perlu digali dengan lebih mendalam dengan perspektif tentang dunia virtual, cyberspace dan permainan komputerisasi.
__________
REFERENSI

Bogdan, Robert & Steven J. Taylor. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods : A Phenomenological Approach to The Social Sciences. New York : Wiley

Berger, Peter L. & brigitte Berger. 1972. Sociology: A Biographical Approach. New York. Basic Books

Garfinkel, Harold. 1967. Studies in Ethnomethodology.Englewood Cliffs, N.J., Prentice Hall

Psathas, George. 1973. Phenomenological Sociology: Issue & Applications. NewYork Wiley
Ritzer, George. 1996. Modern Sociological Theory. New York : McGraw Hill

Tidak ada komentar:

Posting Komentar